w

Jangan Rampas Hak Rakyat

Jangan Rampas Hak Rakyat

Bustami Zainudin. ;   Bupati Way Kanan Lampung
KOMPAS, 23 September 2014

Artikel BZ ini telah dimuat di Republika 20 September 2014
                                                                                                                       
                                                      

KEINGINAN para anggota DPR mengesahkan RUU Pilkada dipilih DPRD atas usul rancangan dari pemerintah seketika mengentak panggung politik negeri ini.
Belum lagi rakyat reda mengikuti pemilu presiden (pilpres) dengan segala dinamikanya, kini negeri ini dihadapkan pada gejala kontradiktif pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD. Pilkada menjadi istilah yang populis saat ini. Hampir semua media memberitakannya.

Tampaknya hampir semua kalangan masyarakat ingin ambil bagian pula dalam isu hangat ini. Bahkan, terjadi penyampaian aspirasi oleh para gubernur, bupati, dan wali kota dengan berdemonstrasi. Selama ini justru para kepala daerah yang selalu menghadapi demonstrasi. Kini merekalah yang bereaksi keras terhadap gagasan mengembalikan pilkada kepada DPRD karena menilainya sebagai langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia. Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak konstitusi: kedaulatan rakyat yang memperoleh strata tertinggi dalam sistem demokrasi negeri ini.

Apa pun yang menjadi latar politis pengusulan kembali pilkada oleh DPRD, penulis coba menyampaikan refleksi kegelisahan sebagai pelaku langsung mekanisme pilkada. Pilkada langsung mungkin saja belum maksimal menghasilkan pemimpin berkualitas seperti keinginan rakyat. Namun, jika kepala daerah dipilih DPRD, rakyat tidak punya kewenangan lagi menentukan hak politiknya (meski DPR dipilih rakyat). Tidak ada lagi pendidikan politik untuk rakyat jika RUU Pilkada dipilih oleh DPRD.

Mengerti makna demokrasi

Selama ini pilkada langsung membuat rakyat mengerti makna demokrasi rakyat Indonesia, menentukan dan berperan langsung dalam pesta demokrasi memilih sendiri pemimpin yang menurut mereka layak dan berintegritas. Jadi, jika RUU ini disahkan, yang terluka adalah rakyat.

Saya berharap kepada anggota DPR, sebelum RUU ini disahkan, mohon dipertimbangkan dulu aspirasi yang disampaikan rakyat bahwa rakyat Indonesia menginginkan langsung pemilihan kepala daerah. Selama ini pilkada langsung sudah menemukan arah lebih baik meski masih memiliki sejumlah kelemahan. Mengubah model pilkada agar dipilih oleh DPRD bukan solusi terbaik. Bukan sistem dan mekanismenya yang diubah. Yang harus diperbaiki adalah prosedur penyelenggaraan yang mungkin masih berkekurangan. Pokoknya hak rakyat jangan dirampas.

RUU Pilkada itu hanya kepentingan elite politik. Wajib hukumnya kita menolak disahkannya RUU Pilkada. RUU ini haruslah pro rakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini.

Argumen pelaksanaan pilkada langsung yang telah mengakibatkan politik biaya tinggi sangat dapat diperdebatkan. Perlu ada kalkulasi menyeluruh, argumentatif, serta transparan. Alasan lain yang mengemuka adalah bahwa pilkada langsung selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial tinggi, berupa konflik horizontal, juga bisa diperdebatkan. Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di suatu negara. Namun, hal itu tidak lantas diartikan dengan meniadakan sama sekali potensi konflik horizontal.

Hal paling penting yang harus dipahami bukan bagaimana cara memusnahkan konflik, melainkan bagaimana mengelola konflik tersebut. Konflik sebagai konsekuensi gesekan kepentingan dalam sebuah kontestasi politik tidak tabu. Yang terpenting, bagaimana konflik itu dituntaskan terlembaga, tidak melalui cara-cara kekerasan.

Politik berbiaya tinggi dan konflik horizontal tidak bisa dijadikan justifikasi untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik horizontal dan politik berbiaya tinggi sangat tak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada tidak langsung, berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tak mumpuni, serta tak memenuhi ekspektasi publik dan tidak dikenal rakyatnya sendiri.

Kita jangan terjebak pada debat kusir antara pendukung pilkada langsung dan pilkada lewat DPRD. Argumentasi yang dilontarkan belum menyentuh akar persoalan sebenarnya, yakni kegagalan pemerintah dan partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan rakyat.

Penghormatan tertinggi

Mekanisme pilkada secara langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan penghormatan tertinggi terhadap kedaulatan rakyat tersebut. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD juga tidak sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Dalam literatur-literatur sudah sering kali dikemukakan para ahli bahwa demokrasi bukanlah sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian, demokrasi, menurut para pakar, adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan dengan sistem lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, dan gerontokrasi). Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa cacat. Implikasinya, pemerintah negara mana pun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan ekses-ekses negatif dari demokrasi.

Jangan sampai pilkada menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia yang sedang dalam masa transisi. Yang terpenting saat ini, pemerintah harus dapat menjamin bahwa harus ada peningkatan kualitas demokrasi, kualitas pemimpin daerah, dan mengeliminasi semua gejala implikasi negatif yang dapat menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan sistem pemerintahan yang berlaku. Pilkada harus dapat menjamin rakyat Indonesia agar tidak terpuruk lagi ke lubang yang sama.

Gubernur dan wali kota/bupati yang terpilih kelak harus lebih mengutamakan program-program sangat mendasar bagi rakyat: kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kepada wakil rakyat yang di Senayan, jika pun masih ragu-ragu akan RUU Pilkada, penulis menyarankan tidak ada salahnya melakukan istikharah secara bersama-sama karena ini bukan persoalan sederhana. Ini persoalan hajat hidup orang banyak. Jangan main-main.

Semoga pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melahirkan undang-undang yang pro rakyat dan diridai oleh Yang Maha Kuasa. ●

Pilkada Bermata Dua

Pilkada Bermata Dua

Arief Setiawan ;   Alumnus S2 Ilmu Politik PFUR Moskow
HALUAN, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pemilihan umum kepala daerah (pemi­lukada) menjadi isu besar setelah digulirkannya wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD). Wa­cana ini diusung Koalisi Merah Putih yang saat Pilpres 2014 mengusung pasangan Pra­bowo-Hatta.

Berbagai tanggapan bermun­culan dan mayo­ritas menolak wacana tersebut. Demokrasi menjadi alasan penolakan karena pemilukada melalui DPRD dinilai sebagai k­emun­duran.

Koalisi Merah Putih mengu­sung wacana itu karena prihatin dengan fenomena banyaknya kepala daerah yang tersangkut pidana korupsi. Menurut data Kemendagri, sejak 2005 sampai Februari 2014, sebanyak 318 kepala daerah menjadi tersang­ka kasus korupsi. Ang­ka yang cukup fantastis tentunya di tengah upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan. Mereka juga beralasan, pemilukada langsung mem­­­punyai ong­kos ekonomi dan sosial-politik yang sangat besar. Argu­men ini menjadi mantra untuk me­ngem­balikan pe­mi­lukada secara tidak langsung me­lalui DPRD.

Pemilukada lang­sung dila­kukan pertama kali pada 2005 pascapengesahan UU No 32/2004 tentang Peme­rintahan Daerah dan sudah dilakukan ratusan kali di tengah peme­karan daerah yang tanpa ujung. Pelaksanaan pemilukada langsung merupakan perge­seran dari pemi­lihan pemimpin dari model yang sifatnya elitis ke model yang bersifat populis. Pe­milukada langsung pun men­jadi rona dalam pembangunan demokrasi di Indo­nesia dan rakyat diha­rap­kan bisa ber­partisipasi aktif.

Pelaksanaan pemi­lukada langsung erat dengan imple­mentasi otonomi daerah. Pemilukada langsung diha­rapkan menjadi katalis menuju konsolidasi demokrasi dan pemberdayaan politik lokal. Sayangnya, tujuan ini jauh pangggang daripada api. Pemilukada langsung tidak lagi menjadi sarana untuk demo­krasi partisipatoris. Elite politik menggesernya menjadi patro­nage democracy dengan meng­gunakan isu agama, etnis, keluarga, dan kelompok sebagai instrumen hegemoninya (van Klinken, 2009). Alhasil, pemi­lukada langsung pun bukan jadi pesta rakyat, tapi pesta elite dan patron-patronnya.

Pemilukada langsung juga mengandung paradoks dari tujuan awal desentralisasi. Dalam pemilukada, partai politik mempunyai peran sangat penting dalam mengusung calon pemimpin di daerah meski saat ini memungkinkan adanya calon independen. Ironisnya, desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan daerah di bidang politik berjalan diametral dengan peran partai politik di daerah. Partai politik cenderung sentralistis karena besarnya kekuasaan dan intervensi elite politik di tingkat pusat dalam rekrutmen calon pemimpin daerah (Ismanto, 2011; Faguet, 2014).

Celah dalam pemilukada langsung ini harus segera diperbaiki guna meminimalkan distorsi demokrasi. Jika tak diperbaiki, sis­tem ini akan terus dijalankan dan te­tap mem­berikan peluang­ bagi elite politik daerah un­tuk terus menghe­gemoni poli­tik lokal. Korupsi, dinasti politik, politik patro­nase, dan eksploitasi sum­­ber daya alam seca­ra masif akan menjadi sulit diken­dali­kan karena kom­plek­sitas per­masalahan.

Pemilukada tidak langsung melalui DPRD bukanlah tanpa masalah. Se­jarah mebuk­tikan, pemi­lu­kada dengan mo­del ini me­m­­punyai keku­rangan yang cukup besar pu­la. Hal ini ha­rus dile­tak­kan dalam kon­teks be­sar­nya ke­kuasaan par­tai politik da­lam pe­nentuan ke­bijakan daerah. Pemi­lukada mela­lui DPRD juga akan semakin me­ngu­­­­kuhkan feno­mena legis­lative hea­vy yang sekarang sedang melanda. Masya­rakat akan semakin sulit me­ngontrol kinerja DPRD karena kekuasaan mereka semakin besar.

Perubahan dari pemilukada langsung ke tak langsung hanya akan melahirkan perge­seran kekuasaan dalam pengelo­laan daerah. Parpol akan semakin kuat posisinya dalam penentuan kebijakan di daerah. Ruang politik bagi calon independen pun bakal tertutup rapat. Kita tak akan melihat lagi adanya calon independen yang bertarung dalam pemilukada jika DPRD yang memilih kepala daerah.

Revitalisasi pemilukada langsung

Mencari jalan ketiga di tengah dilema politik seperti ini merupakan keharusan. Jalan ketiga ini bukan hanya me­ngambil sisi ekletik dari masing-masing kutub perten­tangan. Perlu terobosoan dengan segala risikonya guna mere­vitalisasi desentralisasi, khu­susnya pemilukada lang­sung. Partai politik sebagai salah satu tiang utama demo­krasi harus dapat perhatian serius. Kebe­radaan mereka mempunyai peran sangat signifikan dalam memb­angun ruang publik dan membang­kitkan partisipasi politik masyarakat.

Hal pertama yang bisa dilakukan terkait partai politik, yakni mengubah model koalisi dalam setiap pemilukada. Model koalisi cair di daerah perlu diubah dengan mengikuti aras politik nasional. Koalisi yang dibangun di pusat harus jadi panutan daerah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi deviasi implementasi kebijakan dan dualisme “loyalitas” kepala daerah. Juga bisa berfungsi untuk meminimalkan munculnya dinasti dan patro­nase politik di daerah serta sinkronisasi program kerja.

Partai politik di daerah harus juga diberi otonomi dalam menentukan calon kepala daerah. Bukan lagi bergantung pada keputusan final dari pimpinan nasional partai yang mengusung calon kepala daerah. Partisipasi politik masyarakat merupakan kunci perubahan di daerah. Pembu­kaan ruang-ruang politik masyarakat akan menciptakan kontrol yang kuat dan pem­bangunan sesuai kebutuhan daerah. Rapat umum maupun tanya jawab secara nirkabel bisa menjadi solusi. Ada hal lain juga sangat penting, yaitu penguatan sistem desentralisasi secara komprehensif. Penguatan ini bisa menjadi problem solver terhadap parasit dalam demo­krasi lokal yang sedang men­dera saat ini. ●

Wakil Rakyat Butuh Komunikasi Politik

Wakil Rakyat Butuh Komunikasi Politik

Irma Garnesia ;   Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran Bandung
HALUAN, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Wakil Rakyat mut­lak butuh ko­mu­nikasi politik. Coba jawab per­tanyaan berikut, “Apa yang ada dalam pikiran Anda mengenai Politik?” Kekuasaan, Koalisi, Oposisi, atau Korupsi? Korupsi, kata yang satu ini erat kaitannya dengan perpolitikan di In­donesia. Politik di negara kita tidak hanya bicara mengenai kekuasaan, tapi juga korupsi. Itulah pemahaman masyarakat mengenai politik secara umum.

Politik juga memiliki hu­bungan erat dengan koalisi. Bukankah kita sering men­dengar mengenai Koalisi Merah Putih? Begitu pula kabar yang berkembang akhir-akhir ini bahwa Koalisi Merah Putih berusaha merebut kekuasaan dengan menguasai daerah. Seperti yang dikutip dari Metrotvnews.com, Rabu (10/09), “Mereka, Gerindra dan partai politik Koalisi Merah-Putih ngotot untuk mengubah tata cara Pemilihan Kepala Daerah Tingkat II. Alasannya, sistem pemilihan langsung seperti sekarang terlalu mahal biayanya dan bahkan me­marakkan politik uang.”

Disadari atau tidak, per­bincangan mengenai politik erat hubungannya dengan persepsi. Seperti jawaban Anda atas pertanyaan pertama, jawaban ditentukan oleh persepsi Anda mengenai politik. Sama halnya dengan koalisi, pertimbangan-pertimbangan dalam politik bersifat perseptual. Maka dari itu, jangan pernah per­caya pada koalisi permanen. Tidak ada koalisi yang aba­di, yang ada ha­nyalah kepen­tingan.

Pemilu 2009 mengingatkan kita bahwa pilihan politik bersifat perseptual. Saat itu, SBY memenangkan pemilu sebesar 70%. Ia menang telak tanpa tadeng alih-alih. Kemudian ia membangun koalisi penuh, koalisi yang sangat besar. Seharusnya koalisi gemuk ini mampu mendukung SBY hingga menjadi pemerintahan yang kuat. Dalam teorinya, SBY mendapat dukungan dari koalisi dan parlemen. Tapi kenyataannya parlemen tak sepenuhnya mendukung SBY. Contohnya dalam kebijakan menaikan harga BBM. SBY tidak jadi menaikkan harga BBM karena ditolak oleh parlemen. Persepsi bermain di sini. Di satu sisi parlemen mendukung SBY, tapi di sisi lain mematahkan kebijakan SBY.

Persepsi adalah inti ko­munikasi, jelas Prof. Deddy Mulyana dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi. Masyarakat seringkali memiliki persepsi buruk mengenai politik, termasuk ke dalamnya DPR. Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata DPR? Mobil mewah? Liburan ke luar negeri? Rumah mewah dan gaji miliaran? Atau tidur saat sidang? DPR me­miliki komunikasi yang buruk terhadap masyarakat. Sering kali kita beranggapan negatif terhadap mereka, padahal di sisi lain ada pula wakil rakyat yang bekerja dengan baik dan tulus. Namun yang mendapat perhatian intensif adalah perilaku negatif mereka.

Lantas apa solu­sinya? Para wakil rakyat mem­bu­tuh­kan komunikasi politik. Mereka per­lu sering-sering berinteraksi dengan rakyat atas peker­jaannya. Mereka perlu men­dengar keluhan rakyat dan bagaimana kondisi publik saat ini. Semua agar persepsi masyarakat baik terhadap pemerintah. Koalisi Merah Putih misal­nya bisa saja meyakinkan rakyat agar RUU Pilkada dapat diterima. Namun persepsi rakyat buruk terha­dap hal ini. Banyak pihak menilai motif me­reka adalah me­rebut kekuasaan. Dengan menguasai Kepala-kepada Da­e­rah Ting­kat II, Koalisi Merah Putih akan mudah untuk me­nyetir program pe­me­rintahan selanjutnya. Jika pemerintahan se­lanjutnya tidak menunjukkan kinerja bagus, mudah bagi pihak koalisi untuk merebut kekuasaan pada Pemilu 2019.

Maka sekali lagi, elite sangat butuh komunikasi politik. Agar tercipta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Persepsi masya­rakat akan negatif jika terus disuntik berita buruk dari media. Wakil rakyat perlu berubah, menjadi lebih ramah kepada rakyat. Jangan hanya mengingat rakyat lima tahun sekali.

Transisi Politik Agraria

Transisi Politik Agraria

Gunawan ;   Anggota Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan
KORAN JAKARTA, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Hari Tani Nasional diperingati pada 24 September, saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) disahkan. Tanggal itu juga diperingati sebagai Hari Agraria Nasional. Yang penting tentu bukan seremoni, tapi agenda prioritas presiden terpilih, Joko Widodo, guna memenuhi hak-hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan serta dalam rangka menjalankan reformasi agraria.

Peralihan kekuasaan berakibat agenda kerja pemerintah terkait politik agraria yang belum selesai di masa Presiden SBY menjadi tugas penggantinya, Presiden Jokowi. Ini karena sejumlah agenda tersebut merupakan perintah undang-undang yang menuntut komitmen politik presiden dalam mewujudkan reformasi agraria, kedaulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak petani.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) merupakan koreksi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Wujud koreksinya berupa larangan mengekspor bahan tambang mentah, kewajiban membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter), serta kontrak karya pertambangan harus disesuaikan dengan UU Minerba.

Untuk menjalankan mandat UU Minerba, pemerintah melakukan renegosiasi dengan perusahaan-perusahaan pertambangan. Dalam praktiknya, renegosiasi berjalan melampaui batas waktu yang ditetapkan, tanggal 12 Januari 2010. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak, terjadi kerugian keuangan negara.

Evaluasi

Presiden Jokowi perlu mengevaluasi renegosiasi karena bukan mekanisme perpanjangan kontrak, melainkan upaya korektif. Renegosiasi untuk memastikan bahwa pertambangan bisa dipertanggungjawabkan dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Renegosiasi kontrak karya pertambangan sebagai pelaksanaan dari reformasi agraria diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan negara sehingga pemerintah baru memiliki anggaran yang cukup. Di bidang pertanahan, renegosiasi diharapkan melindungi hak atas tanah masyarakat yang masuk wilayah kontrak karya pertambangan. Pembatasan penggunaan tanah untuk pertambangan memungkinkan dilakukan perbaikan lingkungan hidup dan redistribusi tanah.

Hal tersebut mensyaratkan Jokowi mengubah Tim Evaluasi Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

Politik Pangan

Berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, guna mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan nasional, dibentuk lembaga pangan yang bertanggung jawab pada presiden.

Sebagai tanggung jawab negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas serta persoalan pangan yang multisektor, sudah sepantasnya kelembagaan pangan berwenang penuh mengoordinasi pusat dan daerah serta antarsektor. Tujuannya kebijakan pangan integral dengan bidang agraria, pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, perindustrian, keuangan, pendidikan, dan kesehatan.

Di masa Presiden SBY, draf rancangan peraturan presiden terkait lembaga pangan sudah dibahas. Pemerintah baru perlu memeriksa dokumen tersebut dan menyiapkan tim baru untuk merampungkannya.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memerintahkan negara menjamin lahan pertanian, kemudahan untuk memperoleh tanah sebagai kawasan pertanian, dan pemberian tanah negara maksimal 2 hektare kepada petani. Demikian pula dalam Nawacita (sembilan agenda prioritas) visi-misi Jokowi juga menjanjikan perubahan kepemilikan tanah petani dari rata-rata 0,3 ha menjadi 2 ha.

Namun, dari mana tanah objek yang akan diredistribusikan? Sebab UU tersebut terbatas pada objek yang bisa diredistribusikan, seperti tanah negara bebas dan bekas tanah telantar.

Objek-objek tanah lain yang bisa diredistribusikan terdapat di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reformasi Agraria. Sayangnya, hingga kini, RPP tersebut tidak perndah ditandatangani Presiden SBY. Objek serupa kini terdapat dalam RUU Pertanahan sebagai Tanah Objek Reformasi Agraria.

Persoalan berikutnya, siapa berwenang melaksanakan reformasi agraria karena sebelumnya lewat Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, Badan Pertanahan Nasional (BPN)-lah yang menyelenggarakan reformasi agraria? Namun, fungsi tersebut dihilangkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang BPN. Fungsi BPN menangani konflik pertanahan juga dihilangkan.

Agar reformasi agraria bisa berjalan dan konflik bisa ditangani, pemerintah kelak mesti menyiapkan lembaga yang menjalankan reformasi agraria dan penyelesaian konfliknya. Evaluasi dan reorganisasi lembaga-lembaga pemerintah terkait agraria penting karena konsolidasi demokrasi di dalam transisi memerlukan penguatan kelembagaan untuk mengubah struktur agraria.

Tentu saja kelembagaan akan berjalan baik bila diikuti perekrutan baik pula. Maka, Jokowi harus memilih menteri bidang agraria dan pangan orang yang kapabel mereformasi agraria dan renegosiasi kontrak pertambangan. Dia juga jago dalam redistribusi tanah kepada petani dan soal kedaulatan pangan.

Mencederai Independensi BPK

Mencederai Independensi BPK

Endah Sulistyowati ;   Penulis banyak memantau kinerja lembaga negara
KORAN JAKARTA, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Proses uji kelayakan dan kepatutan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan secara tertutup oleh Komisi XI DPR mengundang kecaman publik. Terpilihnya lima anggota BPK dari partai politik (parpol) telah mencederai independensi lembaga tinggi negara itu. Para politisi Senayan yang kini mendominasi pimpinan BPK membuat publik pesimistis akan kinerjanya kelak.

Citra BPK, hingga kini, masih terpuruk, terutama sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, sebagai tersangka kasus korupsi pajak. Dia menjadi tersangka saat menjabat Direktur Jenderal Pajak tahun 2002–2004 yang merugikan keuangan negara 375 miliar rupiah.

Kasus korupsi Hadi seharusnya menjadi pelajaran dalam pemilihan ketua dan anggota BPK terkait integritas dan track record. Dengan terpilihnya lima anggota BPK bernuansa parpol yang biasanya membawa agenda tertentu, jelas mencemaskan. Sebenarnya publik berharap ketua dan anggota BPK memiliki kemauan keras memberantas korupsi serta bersinergi dengan KPK.

Selama ini, khususnya saat dipimpin Hadi, BPK lambat dan kurang gereget membantu KPK menangani kasus-kasus korupsi. Contohnya kasus korupsi Hambalang. Karena hasil audit BPK sangat lambat dan kurang menggigit, penahanan para tersangka seperti mantan Menpora Andi Malarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tertunda lama karena menunggu proses penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK.

Selama 10 tahun terakhir, BPK belum mampu memenuhi harapan rakyat, terutama terkait dengan kontribusi memberantas korupsi. BPK hanya mengaudit secara umum pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APBN. Ironisnya, BPK jarang menindaklanjuti temuan kasus sampai pada kelayakan proses dan mengawalnya hingga ke penegakan hukum.

Kelak, BPK mesti bisa mengatasi kecurangan laporan keuangan lembaga pemerintah dengan cara menyajikan laporan yang lebih baik dari kenyataan. Dalam lingkungan korporasi atau BUMN, kecurangan laporan keuangan dilakukan dengan menekan laba guna menghindari atau memperkecil kewajiban pajak penghasilan badan.

Untuk itulah BPK berperan penting mengatasi modus korupsi bidang perpajakan. Pada era konvergensi teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, BPK juga harus mampu mengatasi kecurangan terkait dengan komputer (computer fraud).

Publik juga menggugat BPK tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah memberi kewenangan untuk mengaudit kinerja serta pemeriksaan tujuan tertentu. Ke depan, para anggota BPK harus mampu mengoptimalkan kewenangan audit kinerja sebagaimana diperintahkan undang-undang. Mereka harus lebih fokus pada manajemen pelayanan, ketepatan waktu, lingkungan dan aspek yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, anggota BPK yang dipilih DPR bukan auditor hitam yang selama ini bermasalah, tidak independen, dan rendah integritas.

Audit Investigasi

BPK harus mempertinggi audit investigasi. Menurut Jack Balogna dan Robert J Lindguist dalam bukunya, Fraud Auditing and Forensic Accounting, audit investigasi melibatkan kaji ulang dokumentasi keuangan untuk tujuan khusus yang dapat berkaitan dengan usaha mendukung tindakan hukum. Audit investigasi menjalankan bagian dari substansi hukum untuk membuktikan kejahatan kecurangan.

Kelambanan kerja BPK dalam mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi merupakan paradoks pengelolaan keuangan negara sekaligus tamparan bagi transparansi dan akuntabilitas. Publik menggugat kinerja BPK karena masih sering kedodoran. Dampaknya, kelambanan memeriksa keuangan daerah. Upaya mencegah penyelewengan juga masih minim. Buktinya, belum semua APBD di provinsi, kabupaten dan kota yang diaudit oleh BPK secara cepat dan tepat.

Selain itu, hasil auditnya sejauh ini hanya menjadi bukti permulaan. Kerugian negara yang diungkap dari hasil auditnya belum bisa dijadikan bukti formal proses penyidikan, baik di KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. Akibatnya, tidak semua kasus dugaan korupsi yang terungkap dari audit BPK dapat diproses lebih jauh secara hukum.

Keefektifan BPK dalam menyelamatkan uang negara belum memuaskan. Kekurangan auditor diharapkan segera diisi dari Kantor Akuntan Publik. BPK harus cepat mencetak auditor.

Berdasarkan Pasal 23E dan 23G UUD 1945, BPK diberi tugas memeriksa pengelolaan dan bertanggung jawab tentang keuangan negara yang bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dia berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Untuk mengemban tugas demikian, BPK harus merekrut auditor berintegritas, termasuk dengan pelatihan khusus.

Perlu dicatat, penggunaan jasa akuntan publik untuk menjalankan tugas rutin BPK sangat rawan dan bisa berakibat fatal karena banyak akuntan publik, seiring perjalanan waktu, menjelma menjadi auditor hitam yang justru membantu koruptor.

Fakta menunjukkan bahwa penyelewengan keuangan negara terjadi akibat lemahnya mekanisme pengawasan. Di sisi yang lain, penerapan manajemen anti-fraud belum optimal sehingga setiap potensi kerugian keuangan negara tak dapat diidentifikasi atau dicegah secara dini. Lebih-lebih manajemen risiko lembaga keuangan dan birokrasi juga masih buruk. Masyarakat berharap agar kinerja BKP terus ditingkatkan.

Kementerian (Kedaulatan) Pangan Nasional

Kementerian (Kedaulatan) Pangan Nasional

MT Felix Sitorus ;   Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB (2000–2007), Peneliti Sosial Independen, dan Praktisi Agrobisnis
JAWA POS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PRESIDEN dan Wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla segera mengumumkan nama-nama definitif kementerian untuk kabinet 2014–2019. Salah satu yang sangat penting disoroti adalah kementerian terkait dengan pangan karena menyangkut salah satu prioritas utama pemerintahan mendatang.

Minggu (15/9), saat Jokowi-JK mengumumkan postur kabinet, disebut ada rencana pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan. Mudah-mudahan, dalam pengumuman hari ini, nama kementerian seperti itu tidak ada.

Mengapa? Sebab, penamaan seperti itu menunjukkan adanya miskonsepsi yang, kalau tidak diluruskan, akan kontraproduktif terhadap proses pencapaian kedaulatan pangan nasional. Kedaulatan pangan bersifat multisektor sehingga tidak rasional untuk membebankan pencapaiannya hanya pada satu kementerian. Berikut perincian duduk persoalan dan usulan solusinya.

Sinergi Antar Kementerian

Kedaulatan pangan merupakan salah satu prioritas utama pemerintahan Jokowi-JK mendatang dalam rangka kemandirian ekonomi nasional. Targetnya adalah mewujudkan kedaulatan pangan berbasis agrobisnis kerakyatan melalui pengendalian impor pangan, pemberantasan mafia impor, serta pengembangan ekspor pertanian berbasis pengolahan hasil pertanian dalam negeri.

Dari rumusan target tersebut, jelas terbaca bahwa kedaulatan pangan merupakan suatu sistem gotong royong sinergis antar sejumlah pemangku (stakeholder). Pemangku utama adalah pemerintah, yaitu sejumlah kementerian sebagai regulator dan fasilitator, serta tentu saja komunitas petani dan entitas korporasi agrobisnis sebagai pelaku lapangan.

Jika merujuk pada struktur kabinet yang sedang berjalan, urusan pembentukan ’’agrobisnis kerakyatan’’ atau pengembangan produksi dan pertanian produsen pangan adalah fokus kerja Kementerian Pertanian. Sementara itu, pengendalian impor pangan dan pengembangan ekspor pertanian menjadi urusan Kementerian Perdagangan.

Lalu, pemberantasan mafia impor pangan serta mafia-mafia terkait pangan lainnya (misalnya, tanah, benih, pupuk, air, dan modal) merupakan urusan Kementerian Hukum dan HAM serta kepolisian. Selanjutnya, pengembangan industri pengolahan hasil pertanian adalah urusan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Koperasi dan UKM.

Selain itu, masih ada urusan yang sangat krusial. Yaitu, pengadaan tanah untuk pembukaan areal pertanian baru dan pengendalian konversi lahan pertanian. Itu merupakan urusan BPN atau Kementerian Agraria kalau misalnya nanti dibentuk. Pencapaian target pencetakan 1,0 juta hektare sawah di luar Jawa, sesuai janji Jokowi-JK, akan sangat bergantung pada kinerja pengadaan tanah oleh BPN. Penghentian konversi lahan pertanian (rata-rata 100.000 ha/tahun) yang sangat mengancam ketahanan pangan nasional dan penetapan areal pertanian pangan abadi juga menjadi urusan BPN.

Terakhir, ada pula urusan prasarana dan sarana irigasi yang menjadi tugas Kementerian PU dan Kementerian BUMN (Perum Jasa Tirta). Itu terkait dengan rencana pemerintahan Jokowi-JK untuk membangun 25 unit bendungan baru dan membenahi saluran irigasi yang menjangkau areal 3,0 juta ha sawah.

Jadi, membentuk Kementerian Kedaulatan Pangan berarti menyatukan sejumlah besar urusan sektoral (pertanian, perdagangan, perindustrian, pekerjaan umum, agraria, dan BUMN) ke bawah satu kementerian. Implikasinya, pertama, secara struktural Kementerian Kedaulatan Pangan akan menjadi superbodi yang kira-kira setara dengan kementerian koordinator sehingga bisa mengacaukan kerja kementerian-kementerian terkait.

Kedua, rentang manajemen kementerian menjadi sangat atau bahkan terlalu luas. Akibatnya, risiko ’’beban berlebih’’ (over-burden) dan ’’kurang kelola’’ (under-manage) pada sejumlah aspek tidak akan terhindarkan sehingga pencapaian kedaulatan pangan bakal terkendala. Itu berarti pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan justru kontraproduktif terhadap upaya pencapaian kedaulatan pangan tersebut.

Kementerian Pangan Nasional

Miskonsepsi terjadi, mungkin, karena Tim Transisi Jokowi-JK belum merumuskan secara detail sistem kedaulatan pangan nasional. Seandainya sudah dirumuskan, akan terlihat jelas sifat multisektoral kedaulatan pangan itu sehingga usul pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan tidak akan muncul.

Jika merujuk pada batasan sistem kedaulatan pangan sebagai sistem gotong royong sinergis antara stakeholder pemerintah, yang terdiri atas sejumlah kementerian dan organisasi pemerintah non kementerian, komunitas petani (agrobisnis kerakyatan), dan entitas korporasi agrobisnis, langkah paling realistis adalah membentuk ’’Kementerian Pangan Nasional’’.

Nomenklatur ’’pangan nasional’’ digunakan sebagai common denominator sekaligus sasaran utama untuk semua bidang produksi yang akan disatukan di bawahnya. Yaitu, pertanaman (biji-bijian, umbi-umbian, buah-buahan, dan sayur-sayuran); perikanan (khususnya perikanan budi daya); peternakan; serta perkebunan.

Fungsi Kementerian Pangan Nasional harus dibatasi pada urusan produksi pangan (berbasis tanaman, ternak, dan ikan) dalam negeri. Yaitu, peningkatan produktivitas dan produksi sampai taraf swasembada (kecukupan konsumsi per kapita plus stok nasional) secara efisien dan efektif. Dengan demikian, ruang untuk impor pangan semakin sempit sampai kemudian berbalik menjadi eksporter pangan olahan.

Fokus kerja Kementerian Pangan Nasional adalah membentuk, mengembangkan, dan memantapkan entitas ’’agrobisnis kerakyatan’’ dalam rangka peningkatan produktivitas serta daya saing internasional (Nawacita 6) dan kemandirian ekonomi di sektor pangan, yaitu berupa kedaulatan pangan (Nawacita 7).

Targetnya, sebagaimana telah dicanangkan Jokowi di depan Musyawarah Seknas Tani Jokowi-JK di Jakarta (4/9/2014), adalah mewujudkan swasembada pangan paling lambat 2018. Artinya, total konsumsi pangan nasional (khususnya beras, jagung, kedelai, gula, daging, ikan, dan telur) pada tingkat angka swasembada, ditambah persediaan nasional, seluruhnya sudah harus terpenuhi hanya dari produksi domestik pada tahun itu.

Peningkatan produktivitas dan produksi pangan untuk mencapai target kedaulatan pangan 2018, melalui pembangunan agrobisnis kerakyatan, itu sudah menjadi tugas mahaberat bagi Kementerian Pangan Nasional. Jadi, tidak rasional jika masih dibebani dengan urusan-urusan pengendalian impor pangan, pemberantasan mafia impor, pengembangan industri pengolahan berorientasi ekspor, pengendalian konversi lahan pertanian, pencetakan sawah, dan pembangunan irigasi pertanian.

Biarlah urusan-urusan itu ditangani kementerian lain di bawah koordinasi menteri koordinator perekonomian, sedangkan Kementerian Kedaulatan Pangan cukuplah berfokus pada fungsi peningkatan produktivitas dan produksi pangan nasional (domestik) hingga mencapai kinerja kemandirian/kedaulatan.

Kembalilah ke Ribaan Rakyat

Kembalilah ke Ribaan Rakyat

J Kristiadi ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KEDIGDAYAAN rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik akan menguat atau mengkhawatirkan tergantung dari keputusan DPR tanggal 25 September. Apakah mereka memilih opsi pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) secara langsung atau oleh DPRD. Posisi tiap-tiap kubu lebih jelas kalau mencermati perdebatan RUU Pilkada beberapa minggu terakhir. Alur logika publik dibuat jumpalitan laiknya roller coaster. Panggung politik menggelar akrobat politik yang mendebarkan karena para aktor politik mempermainkan mandat kekuasaan rakyat yang dipercayakan kepada mereka.

Komedi politik dapat lebih jelas kalau membandingkan posisi pilihan politik fraksi pada Juni 2013 dengan opsi mereka setelah September 2014. Pada Juni, mereka yang memilih kepala daerah dipilih langsung adalah Fraksi Partai Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PKB, Gerindra, dan Hanura. Sementara itu, fraksi yang mempunyai opsi gubernur dipilih langsung dan bupati/wali kota dipilih DPRD, selain pemerintah, adalah Fraksi Partai Demokrat dan PPP. Namun, pada September terjadi perubahan yang drastis dan dramatik. Beberapa fraksi yang semula menguras energi membangun argumentasi memilih opsi pilkada langsung mendadak sontak membangun silogisme politik berbanding terbalik dengan logika sebelumnya. Mereka memilih opsi pilkada oleh DPRD.

Perdebatan pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD adalah lumrah dalam berdemokrasi. Namun, yang mengkhawatirkan, perdebatan tersebut terjebak pada pilihan yang satu lebih hebat daripada opsi yang lain. Para elite politik seakan terlena dan lupa pilihan kedua opsi itu harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu menata desentralisasi yang asimetrik. Praktik tersebut sudah dilakukan di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, dan lain-lain. Perspektif yang juga lenyap dari perdebatan, pilkada sebagai bagian dari penataan desentralisasi merupakan wilayah dari desain tatanan kekuasaan politik nasional yang tujuan utamanya mewujudkan pemerintahan yang efektif, tetapi tetap dalam kontrol publik.

Banyak kalangan menduga perubahan mendadak fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih memilih pilkada oleh DPRD karena para kader partai mendapat perintah dari penguasa parpol yang tidak kuasa ditolak. Mungkin sekali perintah itu melawan suara batinnya, tetapi para kader harus menyerah karena berbeda pendapat dengan penguasa partai dianggap melawan otoritasnya dan mendapatkan sanksi yang dirasakan terlalu berat. Kalau asumsi tersebut benar, parpol bukan lagi pilar demokrasi, melainkan kasta politik yang fungsinya membangun imperium politik dengan kekuatan modal, garis keturunan, atau sentimen primordial lain.

Oleh karena itu, tidak terlalu menganggap keliru mereka yang berspekulasi opsi pilihan Koalisi Merah Putih merupakan kelanjutan dari pertarungan pemilu presiden yang belum selesai. Hal itu sangat disesalkan mengingat dalam kompetisi politik yang demokratis, siapa pun yang unggul harus menjadikan kemenangan tersebut milik rakyat, bukan pertarungan hidup-mati membela oligarki politik. Pemenang kompetisi bukan ”sang penakluk” yang dapat berbuat semaunya. Mereka hanya pemegang mandat rakyat untuk membuat kebijakan yang menyejahterakan seluruh warga negara tanpa kecuali.

Kekalahan bukan anathema (kutukan dan aib) yang harus ditebus berapa pun harga dan apa pun caranya. Sebaliknya, kalah bukan pecundang, melainkan sekadar tersisih untuk sementara waktu dan selalu mungkin menjadi pemenang, terutama kalau disikapi dengan ikhlas dan semangat juang untuk mengabdi rakyat. Menang-kalah adalah biasa, bukan kiamat.

Fenomena menguatnya kasta politik tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi sumber pembusukan politik yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kajian Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fails: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty, (2012) dapat dijadikan pelajaran. Dalil mereka, negara gagal bukan karena faktor kebodohan, geografi, dan kebudayaan. Variabel tersebut hanya terjadi di negara tertentu, bukan fenomena global. Kajian mereka menyimpulkan, penyebab vital negara gagal adalah merebaknya institusi politik dan ekonomi ekstraktif. Lembaga tersebut diciptakan elite politik, fungsi utamanya menguras kekayaan negara untuk kepentingan kekuasaan dan menindas rakyat. Negara-negara yang pernah jaya dan digdaya menjadi nestapa karena menjamurnya institusi politik dan ekonomi ekstraktif. Joseph Schumpeter (ekonom) menganggap merajalelanya institusi ekstraktif karena menolak fenomena yang disebut penghancuran kreatif (creative destruction). Proses penghancuran tatanan lama digantikan oleh tatanan baru dengan nilai dan teknologi baru serta lebih inklusif.

Keputusan politik di DPR tanggal 25 September akan menjadi moment of truth. Pertaruhannya, menguatnya kedaulatan rakyat atau semakin digdayanya kasta politik. Pilkada langsung yang sudah berlangsung sekitar 10 tahun dan menghasilkan cukup banyak kepala daerah yang memihak rakyat mempunyai beberapa kekurangan, tetapi obatnya bukan pilkada di DPRD. Opsi pilkada oleh DPRD hanya memperkuat kasta politik. Semoga para anggota DPR dalam mengambil keputusan menampilkan diri sebagai wakil rakyat yang memuliakan kekuasaan, bukan buruh politik yang takluk kepada perintah majikan. Rakyat sangat percaya, sebagian besar wakil rakyat akan memutuskan sesuai dengan kehendak rakyat. Dari rakyat kembali ke ribaan rakyat.  ●
Back to top