Jangan Rampas Hak RakyatBustami Zainudin. ; Bupati Way Kanan Lampung |
KOMPAS, 23 September 2014
Artikel BZ ini telah dimuat di Republika 20 September 2014
KEINGINAN para anggota DPR mengesahkan RUU Pilkada dipilih DPRD atas usul rancangan dari pemerintah seketika mengentak panggung politik negeri ini. Belum lagi rakyat reda mengikuti pemilu presiden (pilpres) dengan segala dinamikanya, kini negeri ini dihadapkan pada gejala kontradiktif pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD. Pilkada menjadi istilah yang populis saat ini. Hampir semua media memberitakannya. Tampaknya hampir semua kalangan masyarakat ingin ambil bagian pula dalam isu hangat ini. Bahkan, terjadi penyampaian aspirasi oleh para gubernur, bupati, dan wali kota dengan berdemonstrasi. Selama ini justru para kepala daerah yang selalu menghadapi demonstrasi. Kini merekalah yang bereaksi keras terhadap gagasan mengembalikan pilkada kepada DPRD karena menilainya sebagai langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia. Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak konstitusi: kedaulatan rakyat yang memperoleh strata tertinggi dalam sistem demokrasi negeri ini. Apa pun yang menjadi latar politis pengusulan kembali pilkada oleh DPRD, penulis coba menyampaikan refleksi kegelisahan sebagai pelaku langsung mekanisme pilkada. Pilkada langsung mungkin saja belum maksimal menghasilkan pemimpin berkualitas seperti keinginan rakyat. Namun, jika kepala daerah dipilih DPRD, rakyat tidak punya kewenangan lagi menentukan hak politiknya (meski DPR dipilih rakyat). Tidak ada lagi pendidikan politik untuk rakyat jika RUU Pilkada dipilih oleh DPRD. Mengerti makna demokrasi Selama ini pilkada langsung membuat rakyat mengerti makna demokrasi rakyat Indonesia, menentukan dan berperan langsung dalam pesta demokrasi memilih sendiri pemimpin yang menurut mereka layak dan berintegritas. Jadi, jika RUU ini disahkan, yang terluka adalah rakyat. Saya berharap kepada anggota DPR, sebelum RUU ini disahkan, mohon dipertimbangkan dulu aspirasi yang disampaikan rakyat bahwa rakyat Indonesia menginginkan langsung pemilihan kepala daerah. Selama ini pilkada langsung sudah menemukan arah lebih baik meski masih memiliki sejumlah kelemahan. Mengubah model pilkada agar dipilih oleh DPRD bukan solusi terbaik. Bukan sistem dan mekanismenya yang diubah. Yang harus diperbaiki adalah prosedur penyelenggaraan yang mungkin masih berkekurangan. Pokoknya hak rakyat jangan dirampas. RUU Pilkada itu hanya kepentingan elite politik. Wajib hukumnya kita menolak disahkannya RUU Pilkada. RUU ini haruslah pro rakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini. Argumen pelaksanaan pilkada langsung yang telah mengakibatkan politik biaya tinggi sangat dapat diperdebatkan. Perlu ada kalkulasi menyeluruh, argumentatif, serta transparan. Alasan lain yang mengemuka adalah bahwa pilkada langsung selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial tinggi, berupa konflik horizontal, juga bisa diperdebatkan. Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di suatu negara. Namun, hal itu tidak lantas diartikan dengan meniadakan sama sekali potensi konflik horizontal. Hal paling penting yang harus dipahami bukan bagaimana cara memusnahkan konflik, melainkan bagaimana mengelola konflik tersebut. Konflik sebagai konsekuensi gesekan kepentingan dalam sebuah kontestasi politik tidak tabu. Yang terpenting, bagaimana konflik itu dituntaskan terlembaga, tidak melalui cara-cara kekerasan. Politik berbiaya tinggi dan konflik horizontal tidak bisa dijadikan justifikasi untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik horizontal dan politik berbiaya tinggi sangat tak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada tidak langsung, berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tak mumpuni, serta tak memenuhi ekspektasi publik dan tidak dikenal rakyatnya sendiri. Kita jangan terjebak pada debat kusir antara pendukung pilkada langsung dan pilkada lewat DPRD. Argumentasi yang dilontarkan belum menyentuh akar persoalan sebenarnya, yakni kegagalan pemerintah dan partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan rakyat. Penghormatan tertinggi Mekanisme pilkada secara langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan penghormatan tertinggi terhadap kedaulatan rakyat tersebut. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD juga tidak sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam literatur-literatur sudah sering kali dikemukakan para ahli bahwa demokrasi bukanlah sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian, demokrasi, menurut para pakar, adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan dengan sistem lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, dan gerontokrasi). Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa cacat. Implikasinya, pemerintah negara mana pun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan ekses-ekses negatif dari demokrasi. Jangan sampai pilkada menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia yang sedang dalam masa transisi. Yang terpenting saat ini, pemerintah harus dapat menjamin bahwa harus ada peningkatan kualitas demokrasi, kualitas pemimpin daerah, dan mengeliminasi semua gejala implikasi negatif yang dapat menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan sistem pemerintahan yang berlaku. Pilkada harus dapat menjamin rakyat Indonesia agar tidak terpuruk lagi ke lubang yang sama. Gubernur dan wali kota/bupati yang terpilih kelak harus lebih mengutamakan program-program sangat mendasar bagi rakyat: kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada wakil rakyat yang di Senayan, jika pun masih ragu-ragu akan RUU Pilkada, penulis menyarankan tidak ada salahnya melakukan istikharah secara bersama-sama karena ini bukan persoalan sederhana. Ini persoalan hajat hidup orang banyak. Jangan main-main. Semoga pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melahirkan undang-undang yang pro rakyat dan diridai oleh Yang Maha Kuasa. ● |