Plus Minus RUU PilkadaSamsul Hadi Karim ; Staf Ahli Ketua Umum PBNU |
REPUBLIKA, 19 September 2014
Keputusan akhir drama politik pemilihan kepala daerah (pilkada) akan diputuskan dalam rapat paripuna DPR pada 25 September mendatang. Dengan komposisi kursi mayoritas yang dimiliki Koalisi Merah Putih, bisa jadi usulan itu tinggal menunggu waktu untuk disetujui. Koalisi pengusung presiden terpilih Joko Widodo justru terkesan adem ayem tanpa memberikan perlawanan sengit. Arus deras penolakan pilkada tak langsung justru berasal dari masyarakat. Masyarakat menolak pilkada dikembalikan ke sistem tak langsung dengan dalih sebuah kemunduran demokrasi. Lembaga DPRD juga dinilai sebagai ‘ruang gelap’ yang lebih berbahaya untuk terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pilkada langsung dinilai sukses melahirkan sosok pemimpin berkualitas, seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, serta Joko Widodo dalam kapasitas Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Apakah demokrasi hanya bertujuan mencari pemimpin berkualitas dengan mengeyampingkan proses lahirnya sosok yang dimaksud? Patut dicatat, nyaris di semua pilkada langsung selalu diwarnai bentrok massa antarpendukung kandidat. Belum lagi praktik politik uang yang semakin telanjang dengan merebaknya slogan "wani piro" (berani berapa) untuk setiap suara. Kebutuhan biaya pilkada langsung yang sangat besar juga harus dicermati. Ini berkaitan dengan maraknya pidana korupsi oleh kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri mencatat 323 kepala daerah produk pilkada langsung terjerat kasus korupsi dengan berbagai modus operandi. Dari plus minus pilkada langsung dan tak langsung itulah, saya ingin mengutip rekomendasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim Ulama di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, 15–17 September 2012, yaitu pilkada (sistem langsung) harus ditinjau ulang. Dalam kaca mata Islam, pilkada langsung memiliki dampak negatif (mafsadah) yang lebih besar dibandingkan positifnya (mashlahah). Seperti tertulis di atas, money politics atau risywah siyasiyyah terjadi begitu terbuka dalam pilkada langsung. Tidak hanya pendidikan politik yang tidak baik, mafsadah pilkada langsung juga tampak dari produk yang dihasilkan. Harapan untuk mendapatkan kepala daerah terbaik (ashlah) yang aspiratif dan memahami problematika masyarakat dan pemecahannya, dalam praktiknya juga banyak gagal. Catatan ratusan kepala daerah yang terjerat pidana korupsi setidaknya menjadi bukti shahih. Dalam rekomendasinya, PBNU menilai, mafsadah pilkada langsung nyata sudah terjadi (muhaqqaqah). Sementara, mashlahah-nya lebih sering bersifat semu (wahmiyyah) sehingga pelaksanaannya harus ditinjau ulang. Rekomendasi itu sesuai dengan kaidah fiqhiyyahh dalam kitab al-Asybah wa an-Nazha’ir karya Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi: dar ul-mafaasid aula min jalb al-mashalih (menolak kerusakan itu lebih utama daripada meraih kemaslahatan). Dari penilaian ini, bukan berarti pilkada sistem tak langsung tidak memiliki mafsadah. Tetapi, mafsadah pilkada langsung sudah nyata dan lebih besar. Masih dalam kitab yang sama, yaitu al-Asybah wa an-Nazha’ir karya Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, disebutkan apabila ada dua mafsadah saling bertentangan, maka harus dijaga (dihindari) mudharat yang lebih besar dengan melaksanakan atau memilih mudharat yang lebih ringan. Kunci pada pengawasan Pilkada langsung dan tak langsung memiliki plus dan minus. Ketika pilkada langsung dinilai rawan politik uang, pun demikian dengan sistem tak langsung yang tidak memiliki jaminan apa pun dapat dilangsungkan secara bersih. Bahkan, lembaga DPRD seringkali dianatomikan sebagai ‘ruang gelap’ yang tidak terjamah oleh keterbukaan. Tetapi, zaman sudah berbeda. Pilkada tak langsung yang akan dilangsungkan di waktu mendatang, jika dalam prosesnya disetujui masuk UU, tidak boleh disamakan dengan pilkada serupa di era Orde Baru. Saat ini pengawasan bisa dilakukan dengan segala keterbukaannya, tidak hanya oleh lembaga negara, tetapi oleh masyarakat sebagai pemilik hak suara. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seharusnya dilibatkan bila pilkada dikembalikan ke sistem tak langsung. Tugas pokok dan fungsi kedua lembaga negara itu diharapkan mampu mengendus praktik politik uang di ‘ruang gelap’ DPRD, serta langsung menindaklanjutinya ke ranah hukum. Era keterbukaan dan kemudahan komunikasi di berbagai platform juga dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana pengawasan pilkada tak langsung. Jika pengawasan itu bisa dilakukan di pilkada langsung, seperti melalui media sosial Facebook, Twitter, Path, LinkedIn, dan sebagainya, serta kebebasan berpendapat dan bertanggung jawab melalui blog, website, hingga media massa, hal yang sama sudah semestinya dapat dilaksanakan pada pilkada tak langsung. Dengan mafsadah lebih kecil, masyarakat sudah seharusnya tidak apatis dengan pilkada tak langsung. Bukankah sejarah mencatat pilkada tak langsung juga menghasilkan kepala daerah berkualitas pada sosok Ali Sadikin di DKI Jakarta, Basofi Sudirman dan Imam Utomo di Jawa Timur, Achmad Maschut di Kota Kediri? ● |
0 komentar:
Posting Komentar