Solusi PLTU Batang

Solusi PLTU Batang

Effnu Subiyanto  ;   Advisor CikalAFA-umbrella, Direktur Koridor,
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
KORAN JAKARTA, 16 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Perkembangan konflik di lokasi Proyek PLTU Batang, Jawa Tengah, semakin menjadi-jadi. Dua warga Batang mendatangi kantor Japan Bank for International Cooperation (JIBC) menuntut pembatalan pinjaman 4 miliar dollar AS. Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban (UKPWR) didampingi YLBHI dan Greenpeace mendatangi kantor Itochu, J-Power, dan JBIC. Itochu bersama J-Power dan Adaro Energi membentuk PT Bhimasena Power Indonesia yang merupakan operator PLTU Batang.

Iklim investasi, terutama masalah pembebasan lahan, memang sangat problematis. Meskipun investor sudah memenuhi puluhan macam undang-undang dan regulasi, menanamkan uangnya tetap saja waswas dan dipenuhi perasaan tidak tenang. Kini, bukan pemerintah yang dicemaskan para investor. Penanam modal lebih takut pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang tidak jarang lebih berkuasa mengalahkan undang-undang.

Proyek PLTU Batang dengan kapasitas 2x1.000 MW bernilai 40 triliun rupiah, yang amat diandalkan guna mengurai krisis listrik 2017 kelak, ternyata masih bermasalah. Pembebasan lahan baru mencapai 87,41 persen atau 197 hektare dari kebutuhan 226 hektare. Selain itu, masih 32 keluarga yang menolak tanahnya dibebaskan karena berbagai alasan yang berubah-ubah dan membingungkan.

Semula, alasannya karena mengancam lingkungan, harga tanah yang belum sepakat, dan kini soal lapangan pekerjaan. Pemerintah seharusnya bertindak tegas karena berdasarkan UU 2/2014 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, PLTU ini termasuk dalam Pasal 10 Ayat (f). Demikian pula dalam turunannya, yakni Perpres 40/2014 yang merupakan revisi Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Untuk mengurai masalah di lokasi proyek PLTU Batang, diperlukan teknologi untuk mengatasinya. Area yang masih konflik seluas kurang dari 29 hektare itu memang untuk penggunaan penting, seperti lokasi powerblock, turbin, dan boiler. Sebenarnya teknologi dapat mengatasi masalah deadlock ini, misalnya mengubah denah dan desain PLTU yang semula lurus menjadi sedikit berliku.

Biaya memang akan berubah, bisa lebih murah dan lebih mahal. Namun, ini konsekuensi untuk menjaga kewibawaan negara agar proyek dapat berjalan. Pada beberapa kawasan industri lain, hal seperti ini sangat biasa terjadi. Maka, ada konstruksi tinggi melayang untuk menghindari kawasan tertentu atau jalan tol yang berkelok-kelok karena tidak selesainya negosiasi tanah. Mengubah desain awal adalah pilihan paling masuk akal pada proyek PLTU Batang. Para insinyur Indonesia cukup mampu melakukannya.

Rekayasa ini secara tidak langsung akan memosisikan lahan yang tidak bisa dibebaskan menjadi tidak efektif berproduksi. Lahan tersebut memang masih dikuasai kelompok tertentu, namun menjadi sangat sulit mendapat akses masuk karena wilayah luar proyek sudah berpagar tinggi dan dijaga. Pemilik lahan ujung-ujungnya akan mencari pimpinan proyek dan justru menawarkan lahannya sendiri agar dibeli. Kondisinya menjadi terbalik. Jika dulu pemimpin proyek mencari pemilik lahan, kini pemilik lahan mengharap-harap agar dibeli.

Pemerintah harus menerapkan strategi tarik ulur dan seolah-olah tidak memerlukan pembebasan lahan tersebut. Harus diberi deadline sampai jangka waktu tertentu. Jika tidak ditemukan kata sepakat, proyek tetap berjalan apa pun kondisinya. Kepentingan bangsa tidak boleh didikte sekelompok tertentu yang sebetulnya sedang mentransaksikan ekonomi belaka.

Preseden

Napas demokrasi Indonesia memang cukup unik karena sangat sering terjadi salah penggunaan atau salah implementasi. Demokrasi diaplikasikan pada kebutuhan-kebutuhan hajat hidup orang banyak. Bahkan atas nama demokrasi, hal-hal yang sebetulnya melanggar etika dipaksakan masuk.

Pada beberapa aktivitas proyek, sering banyak titipan dari tokoh tertentu atau politisi untuk memuluskan mendapat tender proyek. Pada proyek PLTU Batang ini, kemungkinan itu pun ada. Pemilik lahan sebetulnya hanya menggunakan alibi karena memunyai agenda besar yang hendak dinegosiasikan. Mereka pandai dan penawarannya sekarang kemungkinan deadlock. Tanah sengaja ditahan. Ini tentu saja ironis karena mereka berjuang bertentangan dengan demokrasi.

Pandangan yang menyebut demokrasi segala-galanya harus diputus dengan tindakan konkret pemerintah. Setiap demonstrasi tidak harus seluruhnya dipenuhi. Aparat pun harus tegas jika perundingan sudah menggunakan intimidasi dan menakut-nakuti karena ini perbuatan melanggar hukum.

Investor sangat paham dengan situasi yang berkembang sekarang. Kini, malah ada pendapat bahwa sebetulnya yang menentukan bukan negara, namun sekelompok atau tokoh tertentu. Jadi jika hendak menanamkan investasi, perlu izin dari tokoh atau kelompok tersebut. Ini jauh lebih murah, praktis, dan aman.

Peristiwa di Batang sekarang menjadi bahan refleksi investor. Batang menjadi kunci terhindarnya krisis listrik 2017 mendatang. Pemerintah kali ini dituntut tegas karena sering kali tidak berdaya di ujung kaki tokoh dan masyarakat tertentu.
Indeks Prestasi

Ditulis Oleh : Arjuna Cellular ~ DosoGames

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Solusi PLTU Batang yang ditulis oleh Arjuna Blog yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Arjuna Blog

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top