w

Lampu Masyarakat Terdidik

Lampu Masyarakat Terdidik

Mohammad Nuh ;   Direkam dan diedit dari sambutan lisan Mendikbud Mohammad Nuh dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan Jakob Oetama bidang ilmu jurnalistik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 5 September 2014 di Jakarta
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SALAH satu syarat kebiasaan orang memberikan apresiasi adalah dia sendiri pernah berprestasi atau merasakan betapa berat untuk berprestasi.
Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini bisa kita bangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga tambah lama, tambah besar. Kalau masyarakat kita pelit, ia jadi spiral inward yang lari ke dalam, tadinya besar tambah lama tambah kempis.

Kami tak ingin bangsa ini terjebak pada tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Kami dorong  sekecil apa pun prestasi itu, harus kami berikan pengakuan, apalagi prestasi dan dedikasi yang telah ditunjukkan Jakob Oetama luar biasa, bukan sekadar tahunan, tetapi sepanjang hayat, rekam jejaknya luar biasa  dalam jurnalisme.

Ke depan zaman tidak makin sederhana. Pasti kian rumit. Buku terakhir yang saya baca menunjukkan begitu, tentang the simple rule, terbitan tahun 2014, bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali derajat kompleksitasnya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali dari yang sekarang. Artinya apa? Ke depan hampir bisa dipastikan persoalan tambah rumit. Bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?

Kemampuan berpikir

Ada dua rumus sederhana apabila kita ingin memasuki wilayah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir. Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita berada pada the low thinking, melainkan harus kita naikkan menjadi the higher level thinking, naik lagi jadi the highest level thinking. Untuk itu, dengan segala macam kekurangan, termasuk segala macam persoalannya, kami menata kurikulum menjadi Kurikulum 2013. Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang tadinya terbiasa dalam wilayah the low level thinking, kami dorong supaya dia bisa naik ke the higher level thinking dan the highest level thinking.

Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan berpikir ditingkatkan. Tidak cukup hanya kemampuan berpikir itu yang kami tingkatkan. Ibaratnya, kalau kita masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lampunya mati, tambah tidak bisa kita kenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan ini rumit, kalau lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir kita menghadapi kerumitan itu bisa kita dapatkan, persoalan serumit apa pun bisa kita selesaikan. Siapakah lampunya itu? Tak lain adalah orang seperti Jakob Oetama.

Dalam bahasa lebih umum, lampu itu adalah guru. Guru dari ’gu’ dan ’ru’, jadi ’gu’ the darkness. ’Gu’ itu bahasa aslinya the darkness, the darkness of ignorance, itulah kegelapan yang diakibatkan ketidaktahuan atau bahasa ekstremnya barangkali kebodohan, tetapi saya tidak pernah menggunakan istilah kebodohan, melainkan ketidaktahuan.

’Ru’-nya the light, cahaya, dengan demikian kehadiran guru ibarat cahaya yang menerobos di sela-sela kegelapan. Kalau kedua faktor itu bertemu, kemampuan berpikir yang mampu mengurai kerumitan–keruwetan  itu ditambah dengan ada pencahayaan—pencerahan—maka serumit apa pun yang dihadapi bangsa ini, kita bisa selesaikan.

Guru yang kedua. Kalau yang pertama itu bersifat personal, guru yang kedua adalah media massa. Namanya media massa, berarti ada media dan ada massa. Antarmassa-antarmassa ini, massa apa saja dan siapa pun massa itu, berarti in between, di antara massa-massa itu, sehingga dikasih nama media massa. Kalau ruang antara massa-massa itu memerankan tiga fungsi sekaligus dan nanti ada tambahan satu fungsi, antarmassa akan bisa terangkai dengan baik dan akan membentuk satu bangunan kukuh.

Apa peran yang harus dimainkan media di antara massa-massa atau media massa? Pertama, media massa, media yang di antara massa-massa tadi itu harus punya peran untuk selalu how to educate the people atau berfungsi edukatif. Begitu orang baca koran, bukan sekadar informasi yang dia dapat, bukan, bukan sekadar data yang dia dapatkan, tetapi kita harapkan media massa itu bisa memerankan fungsi edukatifnya. Maka, setiap orang yang membaca satu media, dia akan mendapatkan data, mendapatkan informasi, mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang persoalan.

Tak boleh dilupakan, pada ujungnya dia akan mendapat wisdom dengan membaca koran atau membaca berita. Itulah hierarki keilmuan: data, informasi, understanding, dan wisdom, sehingga kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin dipesankan tentang pentingnya fenomena yang muncul yang diberitakan, masyarakat kita akan jadi well educated (terdidik).

Masyarakat terdidik

Ciri masyarakat terdidik itu tidak dengan gelar-gelar, entah itu profesor, doktor, tetapi  dengan lebih fungsional: pertama, apakah orang itu kalau dihadapkan pada suatu persoalan, pola pikirnya seperti apa? Kalau pola pikirnya how to solve the problem, itu sudah memenuhi kriteria well educated. Namun, kalau pola pikirnya how to create the new problem, maka meskipun dia profesor, meskipun dia doktor, dia belum well educated.

Ada orang: apabila menemukan persoalan, dia bukan mencari solusi terhadap persoalan, tetapi persoalannya yang dipersoalkan. Karena dia tak bisa menyelesaikan, maka persoalannya dipersoalkan. Kami tak ingin itu sebab rumus atau kebutuhan persoalan itu adalah penyelesaian.

Ciri kedua. Orang atau masyarakat atau society yang well educated, kalau dia menyelesaikan persoalan, biaya menyelesaikan persoalannya rendah, baik society cost, political cost, maupun economical cost-nya. Kalau suatu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ternyata biayanya mahal, entah itu biaya politik, biaya sosial, atau biaya ekonomi, berarti masyarakat itu belum well educated sebab masih ada cost effectiveness.

Ciri ketiga. Dalam menyelesaikan persoalan itu, the society yang well educated tidak mau nabrak aturan, moral, atau segala etika yang terkait dengan kesepakatan nilai-nilai kemuliaan. Meskipun dia bisa menyelesaikan persoalan dan biaya menyelesaikan persoalan itu pun rendah, dalam penyelesaian persoalan harus nabrak kiri-kanan, mulai dari aturan sampai etika, masyarakat itu pun belum termasuk kategori well educated. Sebaliknya masyarakat itu disebut terdidik kalau dalam menyelesaikan berbiaya murah, dengan tetap menjaga aturan dan etika.

Dan yang terakhir cirinya adalah kebisaan itu tepat pada waktunya. Ada orang yang biasa mengalami keterlambatan, itu ibarat dalam ujian. Taruhlah waktu ujian pukul 09.00-11.00, yang penting di dalam rentangan pukul sembilan sampai sebelas itu yang bersangkutan bisa mengerjakan soal. Namun, yang sering kita jumpai, setelah pukul 11.00 tetaplah jawaban yang tadi sudah dikerjakan dan dianggap selesai. Orang macam ini tidak termasuk well educated.

Jadi, well educated atau yang terdidik itu bisa mengerjakan pada saat ditetapkan jadi timely proper. Itulah peran pertama yang kita harapkan dari media. Mempunyai peran untuk edukasi. Ini  belum cukup. Peran yang kedua adalah bagaimana memberdayakan, how to empower seluruh potensi yang kita miliki, sehingga media tidak lagi sekadar how to strengthen pilar-pilar yang ada dalam masyarakat, tetapi juga ikut memberdayakan, ikut empowering. Ibarat seorang anak, kalau kakinya sudah kuat, dia lari pun bisa. Kalau kakinya tidak dibiasakan diberdayakan menendang bola, dia pun tak bisa menendang bola dengan kecepatan tertentu. Media punya peran memberdayakan.

Peran yang ketiga. Sering kali perkara kita rumit, maka media mohon tidak menambah kerumitan. Saya bukan politisi yang tidak paham tentang ilmu politik. Namun, setiap kali ada seseorang yang mengomentari kejadian politik, saya tertawa, karena kebetulan saya ada di situ, yang sedang dibahas perpolitikan seperti apa dan yang dibahas seperti apa, sama sekali tidak nyambung. Mengapa? Karena para analis di dalam menganalisis fenomena politik atau kejadian politik menggunakan akal pikirannya, dan tidak menggunakan akal pikiran tentang fenomena itu. Fenomena dipaksa diterjemahkan sesuai dengan alam pikirannya sendiri. Dia tidak menerjemahkan tentang kejadian sebenarnya sehingga kadang-kadang tidak nyambung.

Dari situlah, kerumitan bertambah rumit, padahal yang kita butuhkan adalah pencerahan. Itulah tiga fungsi media: fungsi edukasi, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pencerahan—kita dedikasikan untuk membangun kenasionalan kita, bangsa kita, dan kita berharap ke depan teruslah cari orang-orang, guru-guru yang bisa ibaratnya menambah lampu-lampu, sehingga bangsa ini semakin terang. ●

Rupiah dan Reformasi Struktural

Rupiah dan Reformasi Struktural

A Prasetyantoko ;   Dosen Unika Atma Jaya Jakarta
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

AKHIR minggu lalu, rupiah ditutup Rp 11.968 per dollar AS setelah sehari sebelumnya tembus di atas Rp 12.000. Rupiah berada di posisi terburuk sejak bulan Juni. Anehnya, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia justru cenderung naik. Pada penutupan pasar akhir minggu lalu, IHSG berada pada level 5.227 atau mengalami kenaikan lebih dari 20 persen dibandingkan dengan awal tahun.

Mengapa kali ini pergerakan nilai tukar tak sejalan dengan investasi di pasar modal? Biasanya, keduanya berjalan seiring yang berarti penguatan nilai tukar terjadi akibat meningkatnya aliran likuiditas asing ke pasar modal kita. Mungkin saja, peran investor domestik lebih dominan akhir-akhir ini, tetapi dengan menurunnya minat investor asing ke pasar domestik, indeks sulit menguat lebih lanjut. Selama ini kontribusi investor asing masih cukup besar di pasar modal kita.

Di luar itu, pelemahan rupiah menandakan perekonomian domestik masih rapuh. Kalaupun kita enggan menggunakan arus modal asing masuk sebagai patokan kebijakan (benchmark), itu tetap berguna sebagai penunjuk persoalan yang lebih serius (leading indicator).

Pelemahan rupiah, bersama mata uang negara berkembang lainnya, dipengaruhi rilis hasil rapat Komite Pasar Keuangan Amerika Serikat atau Federal Open Market Committee. Selain soal menguatnya keyakinan pemulihan perekonomian, Janet Yallen sebagai ketua komite juga mengumumkan kelanjutan program pengurangan stimulus.

Mulai Oktober, bank sentral akan mengurangi pembelian surat utang beragunan (mortgage-backed securities) dari 10 miliar dollar AS menjadi 5 miliar dollar AS per bulan. Demikian pula dengan pembelian surat utang pemerintah jangka panjang (long-term Treasury securities) yang akan dikurangi dari 15 miliar dollar AS per bulan menjadi 10 miliar dollar AS saja. Total stimulus pada Oktober tinggal 15 miliar dollar AS saja.

Dengan habisnya stimulus, pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga yang tinggal menunggu waktu. Siapkah kita menghadapi dinamika pasar keuangan tatkala kenaikan suku bunga The Fed mulai dilakukan tahun depan?

Keraguan investor

Perilaku investor asing di pasar domestik kita patut diperhatikan sebagai salah satu acuan dalam mengevaluasi persoalan fundamental ekonomi kita. Terhitung sejak awal tahun hingga pertengahan September ini, total pembelian bersih investor asing di pasar modal kita nilainya sekitar Rp 57 triliun. Angka tertinggi selama ini. Namun, minat pemodal asing mulai turun dalam dua bulan terakhir. Agustus lalu bahkan sudah terjadi penjualan bersih (net selling) sebesar Rp 1,3 triliun.

Bulan Maret dan Juli merupakan puncak masuknya investor asing, masing-masing mencatat total pembelian bersih sebesar Rp 14 triliun dan Rp 13 triliun. Pada masa investor asing masuk inilah nilai tukar mengalami penguatan tajam. Pada bulan Maret, rupiah berada pada kisaran Rp 11.300 per dollar AS.

Hari-hari ini, rupiah bergerak pada zona merah karena beberapa faktor pokok. Selain soal antisipasi arah kebijakan moneter AS, tentu persoalan yang sebenarnya serius adalah persoalan domestik kita sendiri. Investor mulai ragu dengan kemampuan pemimpin baru mengatasi berbagai persoalan pokok perekonomian, terutama terkait pengalihan subsidi energi.

Begitu dilantik, pemerintah baru menghadapi persoalan konsumsi bahan bakar minyak yang diperkirakan akan melonjak sekitar 1,6 juta kiloliter dari kuota sebesar 46 juta kiloliter. Dalam jangka pendek, pilihannya hanya dua, menaikkan harga BBM pada awal November atau mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait pelanggaran konstitusi akibat lonjakan konsumsi BBM dari kuota yang dipatok dalam UU APBN Perubahan 2014.

Kepemimpinan pemerintah baru diuji, apakah mampu mengatasi blunder persoalan kuota BBM ini.

Beban minyak

Selain menimbulkan problem fiskal, konsumsi BBM yang terus meningkat dari waktu ke waktu juga menjadi beban pada neraca perdagangan kita. Hingga Juni 2014, total defisit minyak sekitar 6 miliar dollar AS. Dan sudah sejak pertengahan 2012, pertumbuhan ekspor migas kita berada di posisi negatif, sementara impor terus meningkat. Dengan demikian, beban impor migas akan semakin besar jika konsumsi tidak dikurangi.

Apakah kenaikan harga BBM serta-merta membuat impor minyak menurun? Tanpa ada migrasi penggunaan sumber energi alternatif, beban impor minyak tetap akan menjadi persoalan. Kenaikan harga BBM tak boleh dilihat sebagai upaya mengurangi beban subsidi fiskal, tetapi juga harus ditempatkan dalam rangka mengubah arah penggunaan energi dengan tingkat ketergantungan tinggi pada minyak.

Dari sisi neraca perdagangan, karena ekspor minyak tak lagi bisa dinaikkan dalam jumlah signifikan, satu-satunya cara mengurangi tekanan adalah mengurangi impor. Dan pengurangan impor minyak hanya mungkin terjadi jika ada migrasi penggunaan energi yang lain. Pengalihan penggunaan energi gas merupakan salah satu solusi yang bisa dikejar dalam satu hingga dua tahun ke depan. Syaratnya, harus ada investasi yang memadai untuk membangun infrastruktur pendukung.

Penurunan ketergantungan pada konsumsi minyak juga akan menurunkan permintaan akan dollar. Setiap hari, PT Pertamina (Persero) memerlukan 150 juta dollar AS guna memenuhi kebutuhan impor minyak sebanyak lebih kurang 600.000 barrel per hari. Oleh karena itu, mengurangi impor minyak juga berkorelasi pada stabilitas nilai tukar.

Utang luar negeri

Selain mitigasi kebutuhan migas, restrukturisasi utang luar negeri swasta juga menjadi salah satu kunci penting menstabilkan nilai tukar. Sebagaimana diketahui, kebutuhan dollar AS untuk pembayaran utang luar negeri cukup besar.

Pertama, tentu volume utang luar negeri swasta, terutama yang jatuh temponya singkat (short-term debt), harus dikurangi. Kedua, mendorong pelaku swasta melakukan lindung nilai (hedging) bagi utang luar negeri. Apalagi, jika utang luar negeri digunakan untuk membiayai investasi atau operasi dengan pendapatan domestik.

Sejak pertengahan 2011, pertumbuhan utang swasta sudah melampaui pertumbuhan utang pemerintah. Pada Juni lalu, pertumbuhan utang pemerintah hanya sekitar 6 persen, sementara utang swasta 14 persen. Kenaikan pinjaman swasta juga terkait dengan kebutuhan ekspansi dan operasional perusahaan yang tak bisa dipenuhi dengan sumber pembiayaan domestik. Selain itu, pinjaman asing juga lebih murah biayanya (cost of borrowing) di samping tersedia dalam jumlah besar akibat program pelonggaran moneter yang dilakukan negara-negara maju.

Dua persoalan ini saja, yaitu mengurangi impor minyak dan memitigasi utang luar negeri, jika dilakukan dengan baik akan membuat nilai tukar bisa lebih stabil. Namun, kedua hal tersebut menuntut adanya kebijakan yang secara konsisten dijalankan dalam konteks restrukturisasi struktural.

Dua agenda struktural yang harus dicanangkan pemerintah baru yang sangat relevan adalah mengembangkan energi alternatif dan mendorong tingkat tabungan domestik sehingga ketergantungan pada pendanaan asing bisa dikurangi. Artinya, likuiditas tersedia di pasar domestik dengan biaya yang relatif rendah. Di bawah bayang-bayang kenaikan suku bunga The Fed, impian penurunan suku bunga masih tetap mungkin jika dilakukan perubahan struktural perekonomian secara progresif.

Dalam jangka pendek pasti menyakitkan, tetapi dalam jangka menengah panjang akan lebih menjanjikan bagi kepentingan semua pihak. Tentu, reformasi di bidang lain harus dilakukan, tetapi tetap saja dibutuhkan respons urgen, terutama di bidang energi. Tak mudah, tetapi tetap harus dilakukan. ●

Revolusi Diam-diam Sulawesi Utara

Revolusi Diam-diam Sulawesi Utara

Ninuk M Pambudy dkk. ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

MENEMPUH  jarak antara Manado dan Bitung sekitar 40 kilometer dalam waktu satu jam adalah sebuah kemustahilan. Kepadatan arus lintas dengan mobil aneka rupa di jalan menjadikan jarak tempuh satu kota ke kota lain di Sulawesi Utara kini bertambah lama. Tak hanya ke Bitung, waktu tempuh dari Manado ke Tomohon pun kini menjadi dua jam. Padahal, jika tak padat, jarak keduanya dicapai 40 menit.

Ahli ekonomi regional di Manado, Noldy Tuerah, menyebutkan, pertambahan kendaraan di Sulut bagai deret ukur, menjadi salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu daerah. ”Pada musim panen cengkeh, dealer mobil ramai pembeli,” ujarnya.

Transformasi ekonomi Sulut di usia 50 tahun berlangsung cepat, terutama pada satu dasawarsa belakangan. Sektor pertanian dan perkebunan dahulu menjadi penopang perekonomian Sulut kini bersaing dengan sektor jasa dan pariwisata.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 di Manado menyatakan, Sulut di bawah kepemimpinan Sinyo H Sarundajang melakukan revolusi ekonomi secara diam-diam. Pembangunan infrastruktur dan banyak modal investasi membuat Sulut menjadi magnet baru di wilayah utara Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi provinsi ini mencapai 7-8 persen dalam enam tahun terakhir. Ini di atas angka nasional dan meningkatkan kemajuan ekonomi di berbagai bidang. Pertumbuhan ekonomi tinggi berkorelasi dengan turunnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut melansir data kemiskinan tahun 2014 sebesar 7,8 persen dengan jumlah penduduk miskin sekitar 208.000 jiwa. Angka ini tergolong kecil dibandingkan jumlah penduduk Sulut sebanyak 2,4 juta jiwa. Angka kemiskinan terbesar terjadi di pedesaan daerah kepulauan.

Gubernur Sulut SH Sarundajang pun bergembira karena angka melek huruf di daerahnya mencapai 99,4 persen, mengalahkan DKI Jakarta yang baru 99,1 persen. Modal sumber daya manusia Sulut cukup baik.

”Orang Sulut biasa membaca dan tak mudah dibodohi dan diprovokasi. Masyarakat pintar menjadi modal untuk pembangunan. Singapura, misalnya, negara kecil tetapi memiliki potensi manusia luar biasa. Potensi Sulut lebih besar dari Singapura, yaitu memiliki sumber daya manusia dan kekayaan alam dan laut,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Sarundajang, nilai pekerja di provinsi itu jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Rata-rata upah minimum provinsi sekitar Rp 1,9 juta per bulan membuat Sulut menarik pekerja dari luar.

Ribuan tenaga kerja masuk ke Sulut bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, dan sektor perkebunan. Mereka mengisi kesenjangan tenaga kerja, terutama di sektor pertanian dan perkebunan. Petani di Minahasa dan sejumlah daerah penghasil cengkeh dan kelapa kesulitan mencari tenaga pemetik dan pemanjat kelapa.

Masalah tenaga kerja menajam manakala harga cengkeh, kopra, dan pala turun. Daniel Karundeng, petani kopra di Minahasa Utara, memilih menggadaikan lahan kebun kelapanya ketimbang harus mengurus sendiri. ”Sekarang tak ada orang suka kerja di kopra, semua lari ke Manado bekerja di pertokoan,” katanya. Kesulitan juga terasa di Manado karena tenaga kerja tersedot di sejumlah pertokoan, mal, dan hotel yang tumbuh di Bitung dan Tomohon.

Sektor jasa

Gebrakan Sarundajang, yang memelopori pertemuan internasional kelautan di Manado tahun 2009, memicu kenaikan signifikan di sektor jasa. Arus kedatangan orang ke Manado yang mencapai 1 juta orang lebih setiap tahun, setengah dari jumlah penduduk, menjadikan Sulut sebagai 10 daerah kunjungan wisata nasional.

Dalam lima tahun terakhir, hotel berbintang bertumbuh dengan aneka fasilitas hiburan dan prasarana kota memadai. Penerbangan dari Manado ke Jakarta (PP) 15 kali dalam sehari tak cukup menampung arus orang ke Kota Kawanua itu.

Asisten II Bidang Ekonomi Pemerintah Provinsi Sulut, Sanny Parengkuan, mencatat, setiap tahun lebih dari 50 kali Manado menjadi tuan rumah berbagai pertemuan nasional dan internasional. Seminggu dalam sebulan penerbangan ke Manado dari Jakarta mengalami puncak permintaan.

Kemajuan sektor jasa, pariwisata, dan perkebunan mendongkrak angka PDRB Sulut mencapai Rp 49 triliun tahun 2013. Namun, hal itu tak membuat Pemprov Sulut puas.

Sarundajang mengatakan, daerahnya sangat prospektif sebagai provinsi poros maritim dengan berbagai potensi perikanan laut dan pelabuhan Bitung yang aman. Laut adalah masa depan dunia yang harus digarap.

Perairan Sulut menyimpan potensi 2.000 jenis ikan atau sekitar 60 persen spesies ikan dunia. Jumlah spesies itu menandakan perairan Sulut kaya dengan ikan. Produksi ikan hasil tangkapan tahun 2013 mencapai 350.543 ton dengan potensi lestari mencapai 1.884.900 ton setiap tahun. Angka itu sangat kecil dari apa yang diperoleh nelayan asing di Laut Sulawesi. Sebut saja Filipina yang berani mengukuhkan diri sebagai negara ikan tuna, padahal produksi mereka berasal dari Laut Sulawesi. ”Seandainya ikan memiliki KTP, dapat dipastikan ikan tuna produksi Filipina dari Sulut,” ujarnya.

Sulut pada Selasa (23/9) ini berusia 50 tahun. Inilah salah satu daerah di Tanah Air yang prospektif karena memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan. Posisi ini akan semakin terbuka pada era Joko Widodo dan M Jusuf Kalla, yang memiliki visi kelautan yang nyata. ●

Korupsi dan Ruang Fiskal

Korupsi dan Ruang Fiskal

Ibrahim Fahmy Badoh ;   Koordinator Program Transparency International Indonesia; Anggota Komisi Anggaran Independen
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEMPITNYA ruang fiskal di dalam APBN menjadi ancaman bagi pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk segera bekerja efektif di awal transisi pemerintahan. Sebenarnya, memangkas korupsi dan meningkatkan integritas anggaran dapat menjadi pilihan prioritas untuk meluaskan sempitnya ruang fiskal.

Ancaman korupsi anggaran adalah bahaya laten dan terbesar menggerogoti anggaran. Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan semester II-2013 menemukan total 10.996 kasus kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap aturan. Potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 13,96 triliun.

Sepanjang 2003-2013, BPK telah menemukan dan melaporkan 432 kasus indikasi pidana dengan nilai kerugian Rp 42,714 triliun. Ini termasuk 48 temuan senilai Rp 4,5 triliun yang disampaikan kepada penegak hukum di tahun 2013.
Potensi korupsi terbesar terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ). Praktiknya dalam bentuk perjalanan dinas fiktif, pengadaan fiktif, kekurangan volume pekerjaan, dan penggelembungan (mark up) anggaran.

Semua modus ini menggambarkan praktik korupsi konvensional masih terjadi. Korupsi PBJ erat kaitannya dengan permainan kuasa pengguna anggaran (mafia birokrasi) dengan kroni bisnis rekanan pemerintah. Mereka menggunakan aktor bisnis kroni birokrasi dan kroni politik untuk merencanakan proyek koruptif.

Tren aktor korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2004-Juni 2014, menunjukkan hal senada dengan dominasi aktor yang sama, yaitu dari kementerian dan lembaga (168 orang) termasuk kepala kementerian dan lembaga (17), diikuti kepala daerah (60) dan DPR/DPRD (74), serta aktor bisnis (100). Dari 70 kasus korupsi yang ditindaklanjuti KPK tahun 2013, 50 kasus adalah suap terkait anggaran terutama PBJ publik.

Maraknya korupsi memperburuk pelayanan dan menurunkan berbagai indikator penilaian publik. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia, misalnya, stagnan. Selama Susilo Bambang Yudhoyono memerintah, IPK Indonesia hanya terdongkrak 1 basis poin dari 2,0 tahun 2004 menjadi 3,0 tahun 2011. Tahun 2012 dan 2013, IPK Indonesia stagnan di angka skor 32 dari total 100 basis poin, jauh dari target pemerintah, yaitu 5 atau 50.

Posisi Indonesia dalam survei Global Integrity juga menurun. Dari skor 81 (strong) tahun 2011 turun menjadi 77 (moderate) tahun 2013.

Survei ini menyebutkan beberapa indikator penting, seperti transparansi pendanaan politik 58 (very weak), transparansi dan pengawasan proses anggaran 63 (weak), whistle-blowing protection 63 (weak), Civil Service 63 (weak), perizinan bisnis 64 (weak), dan perlindungan terhadap pemantau korupsi 33 (very weak).

Ruang fiskal

Fakta masih besar dan latennya potensi korupsi anggaran di Indonesia meniscayakan disiapkannya program kerja yang efektif, konsisten, dan dampaknya terukur. Adanya keluasan ruang fiskal sebagai dampak dari penghematan anggaran dapat menjadi salah satu alat ukur utama pemberantasan korupsi. Ruang fiskal terutama dapat diupayakan dari penghematan belanja, juga efektivitas pengelolaan penerimaan negara.

Di sisi belanja anggaran, program pemangkasan sendiri belanja (self block) dapat dikaji untuk diterapkan kembali. Kebijakan ini pernah diterapkan pemerintahan SBY lewat Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2014.

Lewat instruksi ini dapat dipangkas belanja Rp 100 triliun, terdiri dari perjalanan dinas, biaya rapat dan konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, dan pengadaan kendaraan operasional.

Pemangkasan belanja pegawai juga bisa dilakukan jika moratorium perekrutan baru pegawai negeri sipil dilanjutkan seperti yang pernah diterapkan di tahun 2010-2013.

Potensi penghematan lain adalah menghentikan ”budaya” menghabis-habiskan anggaran di akhir tahun. Praktik aji mumpung ini disebabkan lemahnya evaluasi di setiap termin anggaran.

Faktanya, daya serap pemerintah pusat saja selama 2012 dan 2013 rata-rata hanya terpaut 89,3 persen (2012) dan 93,7 persen (2013). Jika diambil angka moderat 6 persen untuk pemangkasan, akan ada keluasan fiskal Rp 36,034 triliun dari total belanja K/L 2015 sebesar Rp 600,58 triliun.

Terkait korupsi di sektor pengadaan, pemerintah dapat menerapkan e-catalogue sebagai pelengkap e-procurement untuk menekan penggelembungan harga. 

Menurut kajian BPKP, tahun 2013, nilai rata-rata proyek belanja modal yang ”menguap” oleh setiap proyek anggaran adalah minimal 20 persen. Pemangkasan belanja modal minimum 20 persen dapat menghemat anggaran minimal Rp 80 triliun dengan asumsi alokasi total belanja modal 20 persen dari total APBN 2015 sebesar 2.000 triliun.

Dari perhitungan di atas, dengan penerapan penghematan di sisi belanja saja, potensi kebocoran secara kasar yang bisa ditambal minimum Rp 216 triliun. Potensi ini belum termasuk potensi yang belum tergali secara optimal di sektor penerimaan terutama pajak dan potensi sumber daya alam.

Diperlukan kepemimpinan (leadership) yang kuat untuk menghadang ancaman kebocoran di sektor fiskal. Pemerintahan ke depan harus lebih berani menghemat sekaligus memberantas korupsi.

Dengan penghematan, dapat dilakukan realokasi untuk memperbaiki fasilitas dan pelayanan publik. Upaya ini dapat berjalan beriringan dengan peningkatan kinerja dan profesionalitas aparatur. ●

Kabinet Transaksional?

Kabinet Transaksional?

Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Unair,
Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEJENAK setelah postur kabinet pemerintahan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diumumkan, berbagai reaksi bermunculan. Respons negatif berupa tuduhan kabinet transaksional dilontarkan sehubungan dengan postur kabinet yang dianggap sarat kepentingan partai politik. Persoalannya, dapatkah kita memberikan penilaian peyoratif terhadap kabinet Jokowi-JK sebagai kabinet transaksional hanya karena melihat postur kabinet yang tidak ramping dan tampilnya orang-orang partai di kabinet? Tampaknya, agak berlebihan kritik terhadap pemerintahan Jokowi mendatang tanpa mengolaborasikan secara mendalam detail argumen yang telah diuraikan Jokowi.

Ketika kita mencermati detail pernyataan yang disampaikan Jokowi seputar pengumuman postur kabinet, penilaian sementara yang dapat diberikan adalah kabinet mendatang tidak sempurna, namun tidaklah buruk untuk menjawab tantangan pemerintahan dan statecraft (bina negara) ke depan. Dikatakan tidak sempurna (not perfect) karena postur kabinet Jokowi-JK ternyata tidak ramping, tidak merekrut kalangan ahli maupun teknokrat (zaken kabinet), dan meminggirkan orang-orang partai di dalamnya seperti yang menjadi gambaran ideal tentang kabinet berbasis experts (kaum ahli). Namun, politik dalam pusaran bumi manusia dibatasi dan dimungkinkan oleh kondisi-kondisi empiris yang kerap mengharuskan kita menerima kenyataan bahwa tidak semua hal yang baik datang bersamaan.

Sehubungan dengan pemahaman atas kondisi politik empiris seperti, pertama, kebutuhan untuk mengonsolidasikan dukungan politik elite berhadapan dengan tekanan politik oposisional mayoritas di parlemen. Kedua, apabila dihadapkan kepada dilema menata pemerintahan yang efektif di tengah desakan membangun keseimbangan politik, postur kabinet pemerintahan Jokowi dapat dikatakan tidaklah buruk dan masih memiliki harapan. Setidaknya, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk tidak terburu-buru menyatakan postur kabinet pemerintahan Jokowi-JK kali ini mengingkari janji politiknya untuk membangun pemerintahan tanpa syarat.

Ada beberapa alasan kuat yang dapat menjernihkan duduk perkara dari karakter kabinet mendatang. Pertama, kita dapat membandingkan postur kabinet Jokowi-JK dengan postur kabinet sebelumnya (kabinet SBY-Boediono). Dari perbandingan di antara dua kabinet tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa komposisi kabinet Jokowi-JK adalah 18 orang (52 persen) dari non parpol dan 16 orang (48 persen) dari parpol, sedangkan kabinet SBY-Boediono terdiri atas 16 orang (43 persen) dari non parpol dan 21 orang (57 persen) dari parpol. Dari perbandingan dua kabinet itu, kita menyaksikan peningkatan persentase orang-orang non parpol jika dibandingkan dengan orang-orang dari parpol dalam rencana postur kabinet Jokowi-JK. Apabila kalkulasi kuantitatif elite parpol yang masuk kabinet dibandingkan dengan kalangan teknokrat nonpartai dianggap sebagai ukuran karakter transaksional, kabinet Jokowi memperlihatkan lebih banyaknya kalangan ahli dan profesional nonpartai daripada kalangan partai politik dalam kabinet Jokowi-JK.

Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam pernyataan presiden terpilih Joko Widodo adalah komitmennya untuk tidak menempatkan para petinggi partai politik, khususnya para ketua partai politik, dalam jajaran kabinet. Pernyataan tersebut sudah semestinya diapresiasi untuk membangun tradisi pemerintahan baru. Selama ini kita menyaksikan kerap kali jabatan ketua partai diperebutkan dalam kerangka orientasi kekuasaan sempit dari segelintir elite politik. Jabatan ketua partai politik sering dipandang sebagai jembatan mengejar jabatan publik atau sarana negosiasi kekuasaan belaka.

Ketika elite partai dimaknai semata-mata sebagai sarana kekuasaan orang per orang, peran-peran kelembagaan parpol, misalnya ideologisasi partai maupun kemampuan agregasi politik kader partai, melemah. Komitmen Jokowi menolak ketua partai menduduki jabatan menteri diharapkan dapat menata kualitas politik sekaligus karakter parpol di negeri kita. Kebijakan di atas diharapkan membantu terbangunnya pembagian peran di partai bahwa ketua dan jajaran elite pengurus partai terfokus kepada pembenahan kelembagaan dan memproduksi kader-kader yang andal ketika menduduki jabatan publik.

Tradisi Riset

Ketiga, meskipun postur kabinet pemerintahan pasangan Jokowi-JK terlihat tidak ramping, kita patut mengapresiasi inovasi-inovasi penting dalam pelembagaan pemerintahan. Misalnya, kelahiran Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset yang merupakan penggabungan antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kemenristek adalah sebuah inovasi kelembagaan pemerintahan yang penting. Problem yang dihadapi oleh pendidikan tinggi kita selama ini adalah masih belum kuatnya tradisi riset/penelitian di universitas-universitas kita. Padahal, fokus kepada research and development yang berbasis di universitas adalah kunci kemajuan bangsa di era globalisasi.

Seperti diutarakan Professor Jeffrey Sachs (2011) dalam The Price of Civilization bahwa salah satu strategi yang harus dilakukan negara untuk menyelamatkan peradabannya pada masa krisis adalah kemampuan negara memobilisasi tenaga-tenaga ahli (experts) untuk memberikan kontribusi pengetahuan yang sinergis dengan tujuan dan orientasi pembangunan negara. Kebutuhan negara untuk mengonsolidasikan para peneliti menjadi begitu penting selama ini. Ide pengintegrasian Dirjen Dikti dengan Kemenristek itu kita harapkan menjadi awal dari orientasi menempatkan peneliti dan kaum inteligensia untuk berkontribusi kepada strategi pembangunan nasional dan memperkuat sektor-sektor produktif masyarakat sipil, alih-alih sering hanya dimanfaatkan oleh sektor privat maupun korporasi. 

Tiga hal di atas semestinya menjadi pertimbangan sebelum kita tergesa-gesa memberikan penilaian pendek bahwa kabinet ke depan tidak lebih dari kabinet transaksional belaka. Adalah benar bahwa postur kabinet ke depan bukanlah kabinet ideal yang kita impikan. Namun, bukankah politik sendiri adalah menata kemajuan secara bertahap, fase demi fase, langkah demi langkah dengan mempertimbangkan setiap hambatan, dan kesempatannya tidak dalam waktu semalam. ●

Uang Muter untuk September yang Padat

Uang Muter untuk September yang Padat

Dahlan Iskan  ;   Menteri BUMN
JAWA POS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

”Selamat ya. Setelah berjuang selama 12 tahun akhirnya berhasil,” tulis seorang pengamat BUMN dalam SMS-nya kepada saya. Memang, pekan lalu tiga dokumen penting untuk BUMN ditandatangani Bapak Presiden SBY: peraturan pemerintah tentang pembentukan holding perusahaan perkebunan, holding perusahaan kehutanan, dan peraturan presiden tentang penunjukan BUMN untuk membangun empat ruas jalan tol Sumatera.

Tentu peran Menko Perekonomian Chairul Tanjung amat besar. Rapat-rapat koordinasi untuk tiga persoalan itu intensifnya luar biasa. Persoalan yang mengganjal dituntaskan satu per satu dan terukur.

Maka, bulan ini luar biasa banyaknya pekerjaan. Seperti lupa kalau masa jabatan hampir berakhir. Tinggal hitungan hari. Belum lagi harus merangkap menjadi menteri perindustrian ad interim selama ditinggal Pak M.S. Hidayat ke luar negeri 12 hari.

Tentu untuk holding perkebunan ini pekerjaan luar biasa besar. Terutama masalah-masalah internal: peningkatan produktivitas, kemampuan membuat laba, efisiensi, dan investasi. Saya yakin, setelah jadi holding ini, penghematan besar-besaran akan bisa dilakukan. Dari penyatuan sistem pengadaan pupuk saja, saya yakin puluhan miliar rupiah bisa dihemat.

Yang tidak kalah berat adalah bagaimana menggerakkan industri gula dalam negeri. Persoalannya juga di perkebunan tebu yang kurang tinggi produktivitasnya. Karena itu, saya berharap benar perombakan sistem penanaman tebu yang mulai menampakkan hasil di Lampung bisa jadi tonggak perbaikan ke depan. Target bisa menghasilkan tebu di atas 100 ton per hektare dengan rendemen 9 harus tercapai. Hanya itu kuncinya. Atau dibubarkan sama sekali.

Yang tidak kalah intensifnya adalah persiapan pembangunan empat ruas jalan tol Sumatera. PT Hutama Karya/HK (Persero), BUMN yang ditunjuk, akhirnya harus mengusahakan sendiri dananya. Tidak ada dana APBN ataupun pinjaman dari PIP seperti yang pernah direncanakan. Tentu akan memakan waktu kalau HK harus cari pinjaman dulu ke mana-mana. Atau harus cari partner lebih dulu. Apalagi, proyek sangat penting ini sebenarnya belum menarik secara komersial.

Tapi, karena BUMN adalah kekuatan besar, saya tidak membolehkan proyek ini tertunda. HK bisa menggandeng BUMN konstruksi yang lain. Misalnya dengan sistem turnkey. Dan ternyata, setelah saya selenggarakan rapat gabungan, PT Waskita, PT Wika, PT PP, dan PT Adhi, semua berminat.

Masing-masing perusahaan menggunakan kekuatan mereka (termasuk kekuatan meminjam) untuk membangun tol tersebut. Dengan nilai yang sudah disepakati. Dengan demikian, HK bisa punya waktu mencari pinjaman tanpa harus menunda proyek.

Pada saat jalan tol itu jadi, ada dua pilihan: HK sudah dapat pinjaman yang lebih murah untuk membayarnya atau HK sudah menemukan pembeli yang akan membeli jalan tol yang sudah jadi itu. PT Jasa Marga Tbk saya minta menjadi stand by buyer.

Perputaran uang seperti itulah yang akan membuat pembangunan jalan tol Sumatera terus bergulir dengan cepat. Dari satu ruas ke ruas berikutnya. Cara seperti ini pula yang terjadi di Tiongkok sehingga pembangunan jalan tol di sana gila-gilaan. Meski jalan tol pertama di Tiongkok (ruas Senyang ke Dalian) dibangun beberapa tahun setelah Jagorawi, kini Tiongkok sudah punya hampir 100.000 km. Sedangkan kita belum genap 1.000 km.

Dirut baru HK I Gusti Ngurah Putra langsung tancap gas. Dia siap kalau groundbreaking jalan tol Palembang–Indralaya dilakukan 16 Oktober atau sebelum itu. Selesainya pun dia rencanakan sangat cepat: satu tahun! Dia juga sudah tahu membangun fondasi di ruas itu sangat berat. Tanahnya rawa.

Rasanya tidak ada semangat melebihi membangun jalan tol di Palembang ini dengan satu alasan: gubernurnya juga agak gila!

Tapi, saya juga minta jalan tol di atas laut Balikpapan–Penajam dikebut pula. Waskita sudah sangat siap. Tinggal tiga isu yang harus diselesaikan: kepesertaan Pemprov Kaltim dan Pemkot Balikpapan, ketinggian jalan tol, serta seberapa jauh harus bergeser untuk mengakomodasi proyek lain.

Oktober ini juga PT Angkasa Pura I siap memulai pembangunan bandara baru Banjarmasin. Soal tanah yang lama mengganjal sudah tuntas. Kita sudah tidak sabar ingin melihat bandara baru Banjarmasin, menggantikan bandara lama yang kini sangat sumpek itu.

September–Oktober yang padat: dari rapat ke rapat. Dari kota ke kota. Dari proyek ke proyek. ●
Back to top