Pemimpin Harus MelayaniAli Rif’an ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia |
KORAN JAKARTA, 30 Agustus 2014
| Atmosfer politik sudah terlalu pengap dengan model kepemimpinan yang cenderung elitis dan penuh gincu. Narsisme politik yang terus menyesaki panggung pemerintahan belakangan harus segera disudahi. Biduk republik butuh sentuhan baru tangan pemimpin yang lahir dari rakyat. Presiden dan wakil presiden terpilih 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), harapan masyarakat hari ini. Kepemimpinan keduanya diharapkan mampu mengobati kehausan publik akan pemimpin yang mengerti dan memahami seluk-beluk batin masyarakat. Kedekatan pemimpin dengan rakyat tentu tak hanya diukur dari seringnya turun ke bawah, blusukan, ataupun berjabat tangan. Yang penting keduanya mampu menyingsingkan lengan baju guna mewujudkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pelayanan rakyat luas. Di sinilah, perbincangan ihwal konsep kepemimpinan melayani menjadi penting dan relevan. Sebab, konsep demikian (servant leadership) semakin jauh dari elite, birokrasi, atau politisi. Mereka tidak mau melayani, tapi inginnya dilayani. Wajah birokrasi masih jauh dari sikap melayani. Konsep-konsep bahwa pemimpin, birokrat, politisi, dan pegawai yang lain yang dibayar dari keringat rakyat harus melayani sangat sepi dari perbincangan elite. Model kepemimpinan di garis depan dalam membantu dan melayani dalam beberapa tahun terakhir malah seperti jadi paradoks, dianggap bertentangan dengan realitas. Kepemimpinan melayani juga dianggap kontradiktif karena citra yang berkembang selama ini seorang pemimpin adalah raja. Dia harus mendapat servis atau pelayanan khusus. Inilah logika sesat pikir dari tahun ke tahun terus dipupuk elite. Paham tersebut terpaku dalam hati pejabat Indonesia sehingga sikap melayani itu boleh jadi sangat jauh dari praktik kerja sehari-hari. Menurut pakar leadership, Robert K Greenleaf (1970), kepemimpinan melayani dimulai dengan perasaan alamiah bahwa seseorang ingin melayani lebih dulu, setelah itu baru menjadi pemimpin. Bukan sebaliknya, ingin menjadi pemimpin lebih dulu setelah itu baru melayani. Sebab, pendekatan konsep kepemimpinan ini berfokus pada sudut pandang perilaku. Fokus perhatian pemimpin haruslah pada masalah pengikut (rakyat). Dia harus berempati dan berbela rasa pada rakyat. Mereka mengutamakan kepentingan dan keperluan bawahan, bukan diri sendiri. Sebaliknya, mereka menomorduakan diri dan keluarga, serta teman-teman. Yang utama adalah rakyat. Seperti ditegaskan Greenleaf, di antara karakter penting kepemimpinan melayani mau mendengarkan dan mampu menyembuhkan. Mau mendengarkan berarti dia “berdiri dalam sepatu” orang lain dan berupaya melihat dunia dari sudut pandang pihak luar (Northouse, 2013:209). Pemimpin melayani menunjukkan benar-benar memahami pikiran dan perasaan rakyat. Maka, komunikasi antara pemimpin dan rakyat adalah proses interaktif-dialogis yang mencakup mengirim dan merima pesan (berbicara dan mendengarkan). Terbuka Dengan mendengarkan, sang pemimpin berarti terbuka dengan perkataan orang lain serta mengakui sudut pandang rakyat. Itulah kenapa ketika Jokowi Center dan Radio Jokowi, relawan pemenangan Jokowi-JK, membuat polling menteri untuk 34 posisi yang diberi nama Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR), patut disambut positif. Selain itu, publik juga merasa tersanjung dengan ide Jokowi yang akan membuat blusukan virtual, seperti lewat Facebook maupun Twitter untuk mendengar aspirasi rakyat. Sebab dengan begitu, praktik mau “berdiri dalam sepatu” orang lain benar-benar telah diejawantahkan oleh Jokowi. Karakter kepemimpinan melayani berikutnya mampu menyembuhkan. Greenleaf mengatakan bahwa proses penyembuhan adalah jalan dua arah. Artinya, dengan membantu masyarakat menjadi sehat. Pemimpin melayani itu sendiri menjadi sembuh. Tentu yang dimaksud dengan “menyembuhkan” di sini sang pemimpin mampu mengatasi berbagai problem kebangsaan yang belakangan membuat rakyat gelisah. Jika merujuk data, pekerjaan prioritas yang harus segera “disembuhkan” pasangan Jokowi-JK, antara lain masalah ekonomi, hukum, keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Ini sesuai dengan hasil survei Poltracking 2013 lalu tentang Evaluasi Kinerja Kabinet SBY-Boediono. Ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim sekarang tertinggi bidang ekonomi (70,9 persen), disusul hukum (57,7 persen). Selanjutnya, bidang keamanan (45,8 persen), kesehatan (43,4 persen), dan pendidikan (37,3 persen). Sejatinya, karakter substantif kepemimpinan melayani adalah kemampuan untuk mencari solusi atas segala persoalan dengan cara-cara yang egaliter dan humanis. Orang yang sudah dicap sebagai “pemimpin melayani” biasanya memiliki tanggung jawab sosial untuk peduli terhadap orang-orang tak berpunya dan tidak beruntung. Ia merakyat dan total menjadi abdi masyarakat. Bila diskriminasi dan ketidakadilan sosial muncul, pemimpin melayani akan berada di garda terdepan untuk mengatasinya. Selain itu, dia akan menggunakan kekuatan dan kendali institusional yang lebih sedikit, sambil menggeser otoritas tersebut kepada para pembantunya. Itulah barangkali alasan kenapa Jokowi sangat “ngotot” ingin membentuk kabinet kerja, bukan politik. Sebab, pembentukan kabinet kerja menjadi fondasi penting untuk mewujudkan konsep kepemimpinan melayani. Tanpanya, praktik birokrasi melayani sulit terwujud. Akhirnya, publik berharap kemenangan Jokowi-JK mampu meluruskan paradigma salah kaprah ihwal praktik kepemimpinan yang berlangsung selama ini. Karena sesungguhnya, seorang pemimpin adalah pelayan. Ia merupakan pelayan rakyat sesuai dengan aturan konstitusi. Sebab, di alam demokrasi, yang menjadi raja sesungguhnya adalah rakyat, bukan yang lain. Hal ini sesuai dengan makna demokrasi: dari, oleh, dan untuk rakyat. ● |
Anda sedang membaca artikel berjudul 
0 komentar:
Posting Komentar