Saatnya Membenahi Lembaga SosialR Khatib Mudo ; Pemerhati Sosial dan Budaya |
HALUAN, 17 September 2014
| Kabar buruk pergaulan bebas kaum remaja telah jadi menu rutin di pagi hari. Seorang wanita berstatus mahasiswa melaporkan tindakan seorang pelajar menengah atas yang telah mencabulinya. Di hari berikutnya sekelompok orang menangkap basah dua pasang remaja sekolah sedang berhubungan intim. Demikian koran ini memberitakan beberapa hari yang lalu (Haluan, 11-12/09). Jauh sebelumnya media lokal dan nasional lainnya pun nyaris setiap hari menurunkan tulisan tentang prilaku seks bebas kaum remaja. Awalnya mungkin seperti kabar burung. Datang lalu lenyap. Akhirnya sampai di telinga para kuli pena dan ditelusuri kebenarannya. Perbuatan asusila di tenda-tenda biru di Bukit Lampu, Pantai Padang dengan tenda cepernya, hingga jembatan-jembatan pinggiran kota di malam hari terkuak dan menyebar cepat ke berbagai pelosok. Sering dibilang bahwa hal ini bagai fenomena gunung es. Tapi jarang kita dengar bahwa ini fenomena nasional. Bila pergaulan bebas adalah sesuatu yang buruk dan merusak generasi, sudah seharusnya dinyatakan sebagai darurat nasional. Merujuk kembali data dua tahun sebelumnya, 2012, yang dikeluarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas-PA). Melalui Forum Diskusi Anak Remaja pada 2011 dikumpulkan 14.726 sampel anak SMP dan SMA di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, Lampung, Palembang, Kepulauan Riau dan kota-kota di Sumatera Barat. Hasilnya, mereka mengaku hampir 93,7 persen pernah melakukan hubungan seks. Juga diakui sekitar 83 persen pernah menonton video porno, dan 21,2 persen mengaku pernah melakukan aborsi. Dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2014 tentang aborsi pun terbit. PP ini dinilai banyak pihak sebagai upaya pemerintah untuk melegalkan pergaulan bebas. Walaupun isinya tidak menyatakan dan menjelaskan tuduhan itu. Akan tetapi absennya upaya pemerintah untuk menanggulangi sebab musabab bencana yang menimpa kaum remaja telah memperkuat asumsi itu. Apalagi pada tahun yang sama saat Komnas-PA merilis temuannya, pemerintah melalui kementerian kesehatan melakukan kampanye pemakaian kondom. Kondom adalah simbol mutlak dari seks. Meskipun kampanye kondom kemudian gagal alias dibatalkan, tapi celah lain untuk pelegalan masih terbuka. Dengan berbagai dalih dan rasionalisasi, PP aborsi terbit tanpa pencabutan. Tentu saja ini kabar baik bagi para pelaku seks pra-nikah. Dalih aborsi pun dapat dalilnya. Pergaulan bebas mendapatkan payungnya. Pada akhirnya tidak hanya seks pra-nikah, tapi narkoba, pornografi, pemerkosaan, perkelahian, tawuran, dan pembunuhan tumbuh membesar dan terus berkembang. Pornografi diakui jadi alat yang melahirkan prilaku seks pra-nikah dan pemerkosaan. Berbagai pengakuan yang didapatkan penyidik dan aparat kepolisian, misalnya, materi pornografi adalah faktor umum yang telah mendorong pelaku, dari berbagai usia, untuk berhubungan intim, mencabuli atau memperkosa. Pornografi adalah zat adiktif neurotik (sifat candu yang mempengaruhi otak) yang dapat merangsang libido dan membangkitkan rasa ingin tahu bagi usia yang baru beranjak remaja. Pada usia pubertas yang sedang tumbuh itu, rasa ingin tahu terus berkembang seperti lidah ingin mencicipi sebuah rasa. Impuls syaraf mendesak untuk mencoba hal-hal yang baru. Tentu bukan waktunya lagi saling menyalahkan. Lembaga pendidikan yang ada dan para guru yang terlibat di dalamnya tak berdaya mengantisasi fenomena ini, sekalipun mereka punya obatnya. Lembaga adat dengan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kandungnya pun sudah lumpuh dahulu sebelum mereka berdiri. Pergaulan bebas adalah buah dari modernisasi yang telah lama berjalan. Modernisasi tidak sekadar gejala global yang paradoks. Satu sisi membawa kemudahan dan kebaikan bagi warga dunia, tapi pada sisi lain juga membawa kehancuran bagi tradisi dan budaya negeri yang diterjangnya. Lebih dari pada itu, modernisasi dan turunannya semisal globalisasi dan liberalisasi, sebagaimana yang diperingatkan para teorisi pos-kolonial, adalah proyek global kaum imperialis. Melalui perusakan tradisi dan budaya, kaum imperialis akan mudah menanamkan pengaruh dan mengendalikannya. Pergaulan bebas adalah bagian dari proyek penjajahan budaya; kelanjutan dari kolonialisme politik dan militer yang telah dihentikan sejak 69 tahun yang lalu. Lewat materi-materi pornografi dan obat-obat terlarang, kekuatan jiwa dan pikiran masyarakat melemah dan jadi tumpul. Penelitian Max Planck Institute di Berlin membuktikan bahwa materi-materi cabul dapat mengendurkan, menciutkan ukuran dan mengacaukan sel-sel otak. Tidaklah mengherankan, sejarah mencatat wanita adalah alat efektif yang sering dimanfaatkan untuk bernegosiasi dan diplomasi. Jauh sebelum teknologi internet berkembang seperti sekarang, materi-materi yang tidak senonoh telah mulai mengetuk-ngetuk kemudian meretakkan bendungan sosial. Sesuatu yang tabu mulai dikotori, dibiarkan dan kemudian dipandang biasa. Melalui komik, video, dan majalah yang memuat banyak materi pornografi dan kekerasan tersebar secara diam-diam ke berbagai kelompok dan individu pelajar. Sama halnya dengan tindakan mereka yang diam-diam menikmatinya.Lalu seiring waktu fenomena pergaulan bebas jadi berita hangat di lapau-lapau, mimbar-mimbar masjid, koran-koran, dan televisi. Lalu apa yang harus diperbuat? Bembenahan dan optimalisasi peran peluarga, sekolah, surau/masjid, dan komunitas sosial lainnya sebagailembaga sosial amat vital untuk mengontrol pergaulan kaum remaja. Lembaga atau pranata sosial, seperti yang didefinisikan Wikipedia, adalah “salah satu jenis lembaga yang mengatur rangkaian tata cara dan prosedur dalam melakukan hubungan antar manusia saat mereka menjalani kehidupan bermasyarakat dengan tujuan mendapatkan keteraturan hidup.” Keluarga adalah unit terkecil dalam sebuah masyarakat dan yang paling dekat bagi seorang remaja. Ia adalah kunci utama dalam mengendalikan pergaulan bebas. Baik dan buruknya interaksi sosial antara seorang Bapak dan Ibu, antara suami dan istri,sangatlah menentukan arah perkembangan anak. Di sinilah pentingnya seorang suami atau istri mendapatkan pendidikan parenting (kursus keorangtuaan), menyangkut pemahaman, teknik, metode, dan cara mengasuh anak hingga dewasa. Pranata sosial kedua adalah sekolah. Sekolah dikenal sebagai rumah kedua anak remaja. Di usia empat tahun hingga 17 tahun, anak-anak tumbuh dan berkembang melalui lembaga pendidikan ini. Hasil pengukuran OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development), total lama belajar anak Indonesia usia 7-14 tahun 6.000 jam. Indonesia memang ketinggalan jika dibandingkan dengan Inggris yang sudah 7.000 jam lebih, atau oleh Chile di posisi pertama dengan 8.500 jam lebih. Pada kurikulum 2013 jumlah jam belajar bertambah dari yang sebelumnya (KTSP). Misalnya SD tingkat atas (kelas IV, V, dan VI) naik dari 32 jam pelajaran per pekan menjadi 36 jam pelajaran per pekan. Sedangkan untuk jenjang SMP, naik dari 32 jam pelajaran per pekan menjadi 38 jam pelajaran per pekan. Sementara jam pelajaran di jenjang SMA atau SMK, berbeda-beda berdasarkan peminatan akademiknya. Waktu yang dihabiskan di sekolah telah mempersempit ruang pergaulan bebas. Namun, pergaulan di sekolah kerap jadi pintu masuk dalam memperkenalkan warna dan gemerlapnya kehidupan dunia. Sementara rutinitas guru dengan jumlah jam kerjanya yang padat tak mampu memantau ratusan anak didiknya. Di sinilah inisiatif sekolah dituntut untuk melibatkan warga sekitar atau menambah tenaga pembantu lainnya. Pranata ketiga adalah surau atau masjid. Lembaga khas dan istimewa masyarakat Minangkabau yang bersejarah ini kini telah jauh berubah. Dulu adalah sentra aktivitas kaum remaja. Dari soal baca membaca, patah petitih, hingga seni beladiri diajarkan secara turun temurun. Zaman telah berubah dan ikut mengubah cara pandang orang tentang fungsi surau. Mengembalikan fungsi seperti sediakala tentu sulit. Tapi aktivitas MDA, TPA, dan TPQ yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) telah menggantikan dan berjalan cukup baik untuk mengisi waktu luang kaum remaja sepulang dari sekolah. Sayang, dalam perkembangannya, aktivitas keagamaan ini belum sepenuhnya mampu merangkul anak usia 13 hingga 17. Pranata keempat adalah kelompok komunitas. Kelompok ini bisa media, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, dan organisasi relawan lainnya. Komunitas tersebut punya tanggungjawab moral dan sosial. Ia juga punya dan dapat memainkan peran kontrol dan pengawasan atas perkembangan prilaku anak remaja atau anggota masyarakat lainnya. Apalagi setiap individu terlibat dan terikat dengan berbagai aktivitas lain dalam masyarakat yang lebih luas. Barangkali hukuman sosial yang cenderung ditinggalkan dan dilupakan untuk diterapkan perlu dipertimbangkan lagi. Keengganan dan keseganan lebih sering muncul karena tindakan asusila adalah anak tetangga atau anak dari saudara famili atau sesuku. Di beberapa daerah, di desa atau kampung, perzinahan kerap dibiarkan dan didiamkan. Mungkin itulah alasannya tradisi mengarak pasangan asusila, pengucilan atau pengusiran dari kampung sudah jarang didapat. Bagaimanapun, pembenahan lembaga sosial adalah satu hal yang mutlak adanya. Sama mutlaknya membenahi diri sendiri untuk kehidupan yang lebih baik dan menentramkan. Wallahu a’lam. ● |
Anda sedang membaca artikel berjudul 
0 komentar:
Posting Komentar