Agar Aset Rp 30 Triliun Tidak Mubazir

Agar Aset Rp 30 Triliun Tidak Mubazir

Dahlan Iskan  Menteri BUMN
JAWA POS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

”Tempeeeeeeeee...!!!” Teriak puluhan karyawan di depan pabrik saat mereka berfoto bersama saya. Pada foto itu nanti pasti terlihat wajah mereka yang ceria dengan bentuk mulut yang lucu.

Saya mengunjungi PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Arun pekan lalu. Para karyawan menyambut dengan penuh kegembiraan. Minta foto bersama. Hari itu upaya mereka menghidupkan kembali PT KKA menampakkan hasil awalnya.

Dua turbin yang sudah lebih 15 tahun mangkrak bisa hidup kembali. Listrik 16 megawatt bisa dijual ke PLN. Perusahaan mulai mendapat penghasilan. PLN mendapat tambahan listrik.

Kondisi KKA sudah sedikit berbeda dibanding saat saya mengunjunginya dua tahun lalu. Waktu itu suasananya senyap. Tidak ada kehidupan. Di mana-mana terlihat bagian-bagian pabrik yang reyot dan tidak terpelihara. Kini pabrik kertasnya memang belum hidup, tapi pembangkit listriknya sudah mulai memberi hasil. ”Pabrik ini sudah mulai bersuara,” ujar Andriano, Dirut KKA.

Untuk menghidupkan pabriknya sendiri, masih perlu waktu. Menunggu penyelesaian hutan tanaman industri (HTI) yang juga sudah lebih 15 tahun berhenti produksi. Hutan itu dimiliki bersama antara perusahaan milik Pak Prabowo Subianto (60 persen) dan BUMN PT Inhutani IV (40 persen).

Kami masih harus merundingkannya agar bisa dikelola lebih baik. Untuk bisa menjadi sumber bahan baku bagi KKA.

Kertas kraft (kertas khusus untuk kantong semen) memang memerlukan bahan baku khusus, yakni pohon pinus. Tidak bisa dibuat dari serat pohon lain. Selama ini industri semen masih impor kertas jenis kraft.

Hari itu saya bermalam di Idi Rayeuk, ibu kota kabupaten baru Aceh Timur. Menikmati martabak durian yang hanya bisa didapat di Aceh. Nyam-nyam sekali. Semalam suntuk saya harus mengucapkan terima kasih kepada Bupati Aceh Timur Hasballah M. Thaib.

Bupati ini masih sangat muda, aktif, blusukannya masya Allah, celananya jins, panggilannya Rocky. Tanyalah kepada sepuluh orang Aceh Timur: siapa nama bupati mereka. Sebelas orang akan menjawab: Rocky. Nama Hasballah hanya ada di surat-surat resmi.

Hasballah, eh Rocky,-lah yang banyak membantu sehingga pembangunan pipa gas dari Arun menuju Medan sepanjang 345 km sudah mencapai 95 persen. Hanya dalam waktu 14 bulan. Dulu banyak yang menyangsikan proyek ini bisa jalan. Apalagi harus melalui wilayah Aceh.

”Kini yang belum selesai justru di wilayah Medan,” gurau Rocky.

Saya pun cium tangannya. Pikiran Rocky memang sangat maju. Dengan dilewati pipa gas, dia bisa mengundang investor untuk datang dan memajukan Aceh Timur. PT Pertagas, anak usaha Pertamina yang membangun proyek ini, memang menyediakan keran-keran di sepanjang wilayah Aceh.

Di Aceh Timur saja ada tiga keran. Kapan saja bisa dibuka. Kalau ada pabrik yang perlu gas di sana.

Saya memang dag-dig-dug menghadapi proyek ini: harus menggelar pipa sepanjang 345 km! Tanpa APBN. Harus cepat selesai. Ini karena dua tahun lalu saya membatalkan proyek penerima LNG terapung di Medan. Harus ada gantinya.

Waktu itu saya berpikir untuk apa investasi penerima LNG terapung senilai Rp 5 triliun. Padahal, sudah ada aset negara yang fungsinya sama. Hanya letaknya di Lhokseumawe, Aceh. Aset ini berupa instalasi pembuat LNG yang nilainya sekitar Rp 30 triliun.

Kalau proyek penerima LNG terapung itu jadi dibangun, aset di Aceh yang besarnya tiga kali LNG Tangguh ini akan menganggur. Mubazir Rp 30 triliun. Ekonomi Aceh pun terganggu. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai instalasi LNG Arun ini dibiarkan jadi besi tua.

Dia memang sudah mengabdi selama 40 tahun. Tapi, kondisinya masih sangat jreng. Pemeliharaannya sangat prima dan bagus. Gedung-gedungnya, stadionnya, perumahannya, sekolah-sekolahnya masih yang terbaik di Aceh.

Dan pelabuhannya? Bikin air liur menetes! Dermaganya dua buah. Di dua sisi yang berseberangan. Dalamnya 18 meter. Dan pelabuhan ini berada di dalam teluk yang sengaja dibuat sempurna.

Kalau pipa ke Medan itu tidak dibangun enam minggu lagi, semua itu sudah tidak ada gunanya. Tanggal 15 Oktober depan adalah pengapalan terakhir LNG dari Arun ke Jepang. Sumur gas di Arun sudah terkuras habis selama 40 tahun lebih.

Maka instalasi itu kami putuskan untuk difungsikan sebaliknya: dari pengubah gas menjadi LNG untuk dikirim keluar Aceh menjadi penerima LNG dari luar untuk dijadikan gas. LNG-nya bisa datang dari Tangguh, Bontang, atau dari luar negeri.

Setelah LNG diubah menjadi gas, gasnya dialirkan lewat pipa tadi. Untuk PLN dan industri di Aceh dan Medan. Di Lhokseumawe, misalnya, kini sedang dibangun pembangkit listrik 200 megawatt yang akan memanfaatkan gas LNG ini.

PT PGN sendiri yang semula ingin membangun penerima LNG terapung di Medan mengalihkannya ke Teluk Lampung. Proyek PGN ini juga sudah hampir jadi. Bulan depan sudah beroperasi. Maka dua tahun terakhir ini kita menjadi memiliki dua penerima LNG terapung (yang satu lagi di Teluk Jakarta), satu penerima LNG eks Arun, dan kita punya pipa sepanjang 345 km. Semuanya non-APBN.

Program Pak Zaini Abdullah, gubernur Aceh, pun berjalan cepat. Saya memang sering bertemu beliau untuk minta dukungan. Kadang dengan kesungkanan yang tinggi. Pak Gubernur ini orangnya sangat baik, tutur katanya sangat halus, dan pembawaannya luar biasa santun.

Rupanya profesi beliau sebagai dokter dan kealimannya sebagai ulama (dokter yang ulama) tetap terbawa ketika beliau jadi gubernur. Sering sekali, sebagai orang Jawa, saya merasa terlalu kasar di hadapan beliau.

Meneladani Nabi, Haji Cukup Sekali

Meneladani Nabi, Haji Cukup Sekali

Biyanto  Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

MULAI Ahad (31/8), calon jamaah haji (CJH) Indonesia gelombang pertama akan masuk asrama haji untuk dikarantina. Keesokan harinya (1/9), mereka akan diberangkatkan ke Tanah Suci. Tahun ini jumlah CJH Indonesia mencapai 168.800 orang, dengan perincian 155.200 haji reguler dan sisanya haji khusus.

Terhitung sejak 2013 kuota CJH Indonesia memang mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 211.000 jamaah. Hal itu terjadi karena pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan untuk memangkas kuota CJH Indonesia hingga 20 persen. Kebijakan tersebut diambil karena ada proyek renovasi Masjidilharam, yang menurut rencana berlangsung hingga 2016. Itu berarti, pemangkasan kuota CJH masih terjadi hingga dua tahun mendatang.

Kebijakan pemerintah Arab Saudi tersebut jelas berdampak pada semakin menumpuknya jumlah antrean CJH. Apalagi, jika diamati, hasrat umat untuk menunaikan ibadah haji dalam 10 tahun terakhir luar biasa. Bahkan, di sejumlah daerah masa tunggu CJH lebih dari 15 tahun. Fenomena ini patut disyukuri karena berarti ada peningkatan semangat umat untuk menunaikan ibadah haji. Antrean CJH juga menjadi tanda bahwa tingkat perekonomian umat semakin baik. Sebab, untuk mendapatkan nomor urut antrean, setiap CJH harus menyetorkan uang minimal 25 juta rupiah di bank mitra Kementerian Agama (Kemenag).

Yang harus dilakukan Kemenag seiring dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi adalah memberikan kepastian kepada CJH. Penentuan siapa yang berangkat dan siapa yang masuk daftar tunggu harus transparan. Hal itu penting untuk menghindari budaya potong kompas sebagian CJH. Jika praktik potong kompas itu tidak diantisipasi, pasti akan timbul keresahan antar-CJH. Apalagi jumlah antrean CJH telah mencapai 1.726.786 orang (data Kemenag, Juli 2013). 

Menyikapi semakin mengularnya antrean CJH, umat perlu diajak meneladani Nabi Muhammad SAW. Fakta sejarah menunjukkan bahwa beliau hanya berhaji sekali dalam seumur hidup. Teladan Nabi ini harus terus digelorakan agar tumbuh kesadaran bagi CJH, terutama mereka yang telah berangkat haji berkali-kali. Memang tidak mudah memahamkan umat bahwa kewajiban ibadah haji itu cukup sekali. Sebab, ibadah haji selalu memberikan pengalaman keagamaan yang mendalam.

Allah pun memanggil jamaah haji dengan sebutan yang sangat menyentuh hati nurani, yakni tamu Allah (wafdullah). Dengan panggilan itu, berarti Allah yang akan menjadi tuan rumah. Karena itu, dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke rumah Allah (baitullah, Kakbah). Sebagai tuan rumah, Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji.

Rasulullah dalam sabdanya juga menekankan keutamaan ibadah haji. Misalnya, beliau bersabda bahwa haji yang mabrur itu pahalanya tiada lain kecuali surga. Disebutkan pula bahwa pahala orang berhaji sama dengan berjihad di jalan Allah. Juga dikemukakan bahwa doa yang dipanjatkan jamaah haji pasti dikabulkan Allah. Karena janji yang diberikan Allah dan Rasulullah begitu rupa, motivasi umat untuk menjalankan ibadah haji terus bergelora.

Pengalaman rohani yang diperoleh setiap jamaah haji juga selalu menghadirkan semangat untuk kembali menjadi tamu Allah. Setiap orang yang pernah menjadi tamu Allah pasti teringat saat melaksanakan prosesi ibadah haji. Senantiasa terbayang tatkala mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwa (sai), berkumpul di Arafah (wukuf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), bermalam di Mina dan Muzdalifah (mabit), menggunting atau mencukur rambut (tahalul), dan mencium batu hitam (Hajar Aswad).

Jamaah laki-laki diharuskan berpakaian yang tidak berjahit, alas kaki tidak boleh menutup mata kaki, dan tidak boleh berhias apabila pakaian ihram telah dikenakan. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu, apabila dilakukan saat berpakaian ihram, akan dikenai denda. Terlebih jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tanaman.

Jika diamati sepintas, prosesi ibadah haji laksana sebuah pertunjukan. Pandangan ini dikemukakan tokoh revolusioner Iran Ali Shariati (1933–1977) dalam karyanya yang berjudul Hajj (The Pilgrimage). Pernyataan Shariati jelas tidak berlebihan jika kita memperhatikan protokoler ibadah haji. Jika diamati secara saksama, jelas sekali bahwa pelaksanaan rukun Islam kelima itu memang laksana sebuah pertunjukan. Tetapi bukan pertunjukan biasa, melainkan pertunjukan akbar karena melibatkan jutaan orang.

Dalam pertunjukan akbar itu, Allah SWT langsung bertindak sebagai sutradara. Tokoh-tokoh yang harus diperankan adalah Adam, Ibrahim, Hajar, dan Setan. Lokasi utamanya berada di sekitar Masjidharam, Masjid Nabawi, Tanah Haram, Kakbah, Safa, Marwa, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat bersejarah yang selalu diziarahi jamaah haji.

Simbol-simbol yang harus diperhatikan adalah siang, malam, matahari terbit, matahari tergelincir, matahari terbenam, berkorban, mencukur rambut, dan berhala. Baju kebesaran yang digunakan adalah pakaian ihram. Dan, pemain utamanya adalah setiap jamaah haji itu sendiri.

Karena ibadah haji itu laksana sebuah pertunjukan, setiap pemain dituntut memainkan peran dengan penuh penghayatan. Untuk itulah, setiap jamaah haji harus membawa bekal yang terbaik saat berangkat ke Tanah Suci. Dalam sudut pandang Alquran, dikatakan bahwa sebaik-baik bekal yang harus dibawa jamaah haji adalah takwa (QS Al Baqarah: 197). Modal ketakwaan itulah yang akan menjamin setiap jamaah dapat meneladani karakter tokoh yang diperankannya. Di samping itu, modal ketakwaan juga sangat penting untuk menata niat agar ibadah hajinya diterima Allah.

Rangkaian ibadah haji itu jelas memberikan pengalaman rohani yang tak terlupakan bagi orang yang sudah berhaji. Akibatnya, kerinduan untuk melakukan perjalanan spiritual ke Tanah Suci pun terus menggelora. Tetapi harus diingat, kini ada jutaan orang yang antre menjadi tamu Allah. Karena itu, bagi yang sudah berhaji harus menahan ego spiritualnya guna memberikan kesempatan kepada saudaranya. Bukankah Nabi telah memberikan teladan bahwa berhaji itu cukup sekali?

PKB, Kerja Keras dan Kreatif

PKB, Kerja Keras dan Kreatif

Agoes Ali Masyhuri  Pengasuh Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo Jatim
JAWA POST, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KRISIS terbesar di dunia saat ini adalah krisis keteladanan. Krisis ini jauh lebih dahsyat daripada krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi, dan air. Karena minimnya pemimpin yang visioner, kompeten, dan memiliki integritas yang tinggi, masalah kesehatan, pendidikan, konservasi hutan, sistem peradilan, dan transportasi menjadi semakin parah. Itulah tantangan partai politik di Indonesia yang harus dihadapi dengan cerdas, ulet, sabar, dan tahan banting. 

Politik pada hakikatnya mempunyai kecenderungan yang inheren dengan kepentingan dan kekuasaan. Tanggung jawab yang dipikul partai politik tidaklah berakhir setelah calonnya berhasil menduduki jabatan kepala daerah atau presiden dan wakil presiden.

Ketika budaya demokrasi dikembangkan di Indonesia, sesungguhnya masyarakat berharap banyak bahwa akan terjadi perbaikan peta perpolitikan nasional sehingga mempercepat pembangunan menuju kehidupan bangsa yang lebih sejahtera sesuai cita-cita sila kelima Pancasila, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Partai politik hendaknya tidak sekadar menjadikan ukuran keberhasilan perjuangan politiknya pada kuantitas keberhasilan memenangi pilkada atau pilpres. Sebab, menjadikan hal itu sebagai patokan tanpa mengevaluasi kinerja seorang kepala daerah atau presiden dan wakil presiden bisa menjadi bumerang bagi partai politik tersebut pada pemilu yang akan datang. Atas dasar itu, partai politik hendaknya tidak terjebak untuk menjadikan jabatan atau kekayaan sebagai sasaran utama dalam kehidupan berdemokrasi.

Fakta berbicara adanya kerinduan masyarakat terhadap partai politik yang berpihak pada rakyat harus direspons secara positif dalam rangka mewujudkan adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Salah satu fenomena menarik pada Muktamar PKB yang berlangsung di The Empire Palace Surabaya kali ini ditandai semboyan PKB sebagai partai politik rahmatan lil ‘alamin. Di sisi lain, ada yang menggelikan dari lontaran-lontaran pengurus DPP PKB yang bertekad untuk mengalahkan Golkar pada pemilu akan datang.

Berawal dari diskusi kecil jamaah setia Bumi Shalawat Jefri Yahya, seorang pedagang sukses yang berpenampilan sederhana, bertanya, ’’Apa modal PKB bisa menjadi partai rahmatan lil ’alamin dan bisa mengalahkan Golkar pada pemilu akan datang?” Mas Nur Alamsyah, seorang guru, spontan menjawab, ’’Sulit Mas, sepanjang mental politisi PKB dari daerah sampai pusat tidak punya komitmen untuk membesarkan partai dan dekat dengan rakyat.”

Santri lain bilang, ’’Ah... dasar kamu ’sok tahu’ seperti pengamat dan pakar politik yang sangat lihai berbicara, menganalisis, memprediksi hal-hal yang bertalian dengan politik yang terjadi di republik tercinta ini.”

Sambil membenarkan posisi topinya, Ahmad Muhdlor berkata, ’’Kalian semua harus tahu dan mengerti bahwa PKB itu didukung pemilih-pemilih tradisional yang mudah goyah dan rentan terkena politik uang.”

Mustaqim, seorang pelatih sepak bola, mendengarkan dengan serius sambil membenarkan posisi duduknya, mengangguk tiga kali, dan menjawab dengan suara serak-serak basah. ’’Begini, sebenarnya peluang PKB sangat besar untuk menjadi partai besar sepanjang didukung pemimpin yang visioner, kompeten, memiliki integritas yang tinggi, memimpin dengan hati dan dekat dengan rakyat.”

Rizal Ramli sejak awal sebagai pendengar setia tersentuh saat melihat santri-santri mempunyai wawasan dan pemikiran begitu hebat tentang bagaimana PKB menjadi partai besar di republik tercinta ini. Dengan suara pelan dan penampilan lugu, dia ikut angkat bicara, ’’Alhamdulillah, PKB mengadakan muktamar di Surabaya, mudah-mudahan mendapat percikan berkah dari Allah. PKB hendaknya tetap komitmen memperjuangkan aspirasi rakyat dan membela yang benar, bukan membela yang bayar. Tegasnya, PKB harus berbenah diri, melakukan perbaikan manajerial, leadership, demi terwujudnya partai yang dekat dengan rakyat dan dicintai rakyat.”

Kerja Keras dan Kreatif

Dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia PKB sebagai partai besar dekat dengan rakyat dan dicintai rakyat, ada lima langkah cerdas yang harus dilakukan secepatnya dan tidak bisa ditunda lagi.

Pertama, selalu memiliki rasa ingin tahu. Para pengurus dan anggota PKB dari segala tingkatan harus kreatif, gemar mencari informasi, mengumpulkan input, dan cinta ilmu. Punya dedikasi yang tinggi, loyalitas kepada partai dengan didukung seperangkat ilmu dan ketulusan untuk berjuang. Jalan dan cara yang harus dilakukan, antara lain, gemar membaca, meneliti, melakukan riset, dan memanfaatkan teknologi informasi melalui IT.

Kedua, terbuka pada hal-hal baru. Ilmu pengetahuan tidak mengenal final, selalu terjadi perubahan dan kemajuan. Betapa ruginya partai yang tidak berani melakukan perbaikan dan tidak menyukai hal-hal baru. Partai kreatif adalah partai yang tidak terbelenggu oleh pendapatnya sendiri. Dibutuhkan keterbukaan dengan hal-hal baru, tidak harus harga mati mengikuti hal-hal baru tersebut. Artinya, kita bisa mengelolanya, menyaring hal-hal yang baik dan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang kita anut.

Ketiga, berani memikul risiko. Semua tindakan kreatif biasanya mengundang risiko. Adalah mimpi melakukan suatu yang baru tanpa adanya risiko. Thomas Alva Edison adalah orang kreatif yang berani gagal beribu-ribu kali sebelum menemukan bola lampu. Untuk menjadi kreatif, kita harus berani menanggung risiko dan keluar dari zona aman.

Keempat, memiliki semangat yang membara untuk sukses. Tanpa semangat, mustahil kita mendapat banyak hal dalam hidup. Semangat biasanya akan melipatgandakan kemampuan seseorang untuk berprestasi. Orang yang kreatif selalu cerdas menggunakan waktu dengan semangat untuk proses dalam menggapai semua hal yang diinginkannya. Kita harus bertanya, bersemangatkah kita dalam hidup? Apakah kita ini seorang yang bermental lemah dan selalu kalah dalam memperjuangkan cita-cita?

Kelima, memiliki hati yang jernih. Kejernihan hati akan melahirkan firasat dan ide-ide cemerlang yang akan menjadi nilai tambah dalam kehidupan seorang muslim dalam segala aspek. Biasanya karya-karya bermutu berawal dari kejernihan hati dan ketajaman pikiran yang direalisasikan dalam tindakan nyata.?

Wanted, a Jakarta governor with listening skills

Wanted, a Jakarta governor with listening skills

Dwi Atmanta  A staff writer at The Jakarta Post
JAKARTA POST, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       
                                                      

Indonesia is bracing itself for a new era under Joko “Jokowi” Widodo, who will take office as the seventh president on Oct. 20. But so is Jakarta, with Jokowi’s departure from City Hall paving the way to the governor’s seat for his deputy Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

New, however, does not necessarily mean better; it can be the other way around. Take for example the New Order, which offered stability and prosperity at the expense of liberty. After more than 30 years, when demand for reform was irresistible, the New Order faded away (although, like an old soldier, it may never die).

Many will welcome Ahok’s succession to Jakarta’s top executive job, and hope the new governor will do more than he has achieved as second-in-command of the capital city.

The pairing of Jokowi and Ahok looked likely to live up to their billing as a dynamic duo shortly after they were sworn in on Oct. 5 two years ago.

Jokowi hopped from one place to another without prior notice to capture a candid picture of the problems facing the people and his administration, while Ahok revamped the foot-dragging bureaucracy without worrying about possible internal dissent.

Both Jokowi and Ahok have emerged as media darlings ever since they declared their bid to contest the Jakarta election. Undoubtedly, Jokowi enjoyed this privilege when he finally shot for the presidential post and won it. The same treatment applies to Ahok.

No one, except the minority Islamic hardline groups, would question his eligibility to lead the capital city, let alone his policies.

The public was quick to support Ahok in an argument over the relocation of Tanah Abang street vendors against United Development Party (PPP) politician and native Betawi figure Abraham Lulung in September last year.

Fearless Ahok has twice been embroiled in a fight with a Cabinet minister. Last year Ahok suggested that Home Minister Gamawan Fauzi read the Constitution in response to the minister’s objection to the appointment of a Christian to lead a predominantly Muslim subdistrict in South Jakarta. More recently, Ahok was involved in a standoff against Youth and Sports Minister Roy Suryo over the Jakarta government’s plan to demolish Lebak Bulus Stadium in South Jakarta.

The media, and perhaps the public, tend to stand behind Ahok, as his leadership style is rare in this country. His oftentimes offensive words are buried under his much-vaunted bureaucratic reform, his anticorruption campaigns, his responsiveness and his accessibility.

Many have even accepted his bruising remarks as a characteristic that distinguishes him from his predecessors.

Ahok’s rise to the gubernatorial post will certainly be welcomed by many, thanks to his decisiveness and zero tolerance of corruption.

As acting governor when Jokowi took leave to focus on the presidential race in July, Ahok threatened to dismiss all the civil servants working at a vehicle-test center in West Jakarta after finding sharp practices going on there. Earlier this month, Ahok dismissed and downgraded a number of public housing agency officials for their alleged role in illegal sales of low-cost apartments meant for the poor.

In an interview with The Jakarta Post recently, Ahok pledged to immediately fire government officials caught in the act of corruption. He pledged also to seek help from Indonesia Corruption Watch (ICW) to conduct checks on government officials whose lifestyles did not match their monthly earnings.

Ahok envisions a city where the law is enforced indiscriminately for all citizens, whether rich or poor, educated or illiterate. He appears to have learned that inconsistent law enforcement leads to public disorder, as in the cases of slum areas along river banks that have been blamed for exacerbating floods, or congestion as a result of street vendors who choose roadsides over stalls inside markets as their business premises.

Certainly, Ahok’s ascent to power has given the poor community of 375,700 people in Jakarta and their defenders a cause for concern. Evictions, as part of the provincial government’s bid to resettle squatters to low-cost apartments, have been rampant since Ahok took over de facto leadership of Jakarta.

Urban poor activists consider Ahok’s policies biased toward the middle class. They say Ahok emulates previous governors, particularly Sutiyoso and Fauzi Bowo, who got tough with the poor — primarily through eviction campaigns.

Sandyawan Sumardi, founder of Ciliwung Merdeka, which is concerned about education for the poor, says Ahok’s penchant for eviction simply proves his lopsided view of Jakarta’s development. Moving squatters to low-cost apartments will not necessarily solve the problem of poverty, as their relocation also deprives them of their livelihoods.

Sandyawan suggests that Ahok listen more to the poor if he really wants to alleviate poverty.

Unlike Jokowi, Sandyawan says, Ahok does not like to listen but to talk, which is why he cannot build empathy.

“About five months before the gubernatorial election, Ahok came to me to ask for advice. But in fact, the meeting was just two hours of him talking,” Sandyawan recalls.

Like Sandyawan, the people of Jakarta are pinning their hopes on Ahok to lead Jakarta to prosperity and justice for all. Ahok has secured public trust — the most precious capital in governing the city.

That he quickly responds to any report or complaint related to public services, and that people have direct access to him, are further plus points.

Ahok may need to assert his new status as the “godfather of Jakarta” to show his firmness, but without empathy, strong leadership will result in tyranny.

After Baha’i : In search of an alternative framework for religion

After Baha’i :

In search of an alternative framework for religion

Pradipa P Rasidi  A student of political science at the University of Indonesia
JAKARTA POST, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       
                                                      

The Religious Affairs Ministry’s acknowledgment of the Baha’i faith as an official religion is good news preceding the installment of the new administration. However, there is still much work to be done.

As with any other “non-mainstream” faith, there are many questions as to whether Baha’i deserves to be acknowledged as a “religion”. Recently, for example, Indonesian Ulema Council (MUI) deputy secretary-general KH Tengku Zulkarnain argued that Baha’i was just a system of thought that was not on a par with a religion.

Such an argument is not new, and while the matter seems pedantic, it could bring serious consequences to those who profess the faith. Though formally guaranteed by the Constitution, believers of faiths outside the six official religions have faced difficulties expressing their piety.

The Baduy people who believe in Sunda Wiwitan, a local religion, have been denied identity cards as their faith is not recognized by the state. Similarly, the believers of the Parmalim faith around Lake Toba in North Sumatra must choose to acknowledge either Islam or Christianity.

While there are different approaches to this problem, the start would be to take a critical look at how the government defines religion.

According to Zulkarnain, to qualify as a religion, a faith has to have a scripture, prophet and a huge amount of followers. These kinds of characteristics are shared by — and most probably derived from — the ministry’s previous attempt in 1952 to define the criteria of a recognized religion (Picard and Madinier, 2011).

The definition requires a faith to be revealed by a God, possess a prophet and scripture, have a codified system of law for its followers and be recognized internationally.

This limits the acknowledgment of local religions as the scope of their support is not as wide as the major religions. The lack of a codified system of local religions — given their main reliance on oral traditions — is a further barrier.

But such criteria also poses problems even to the latest recognized faith, Confucianism. When former president Abdurrahman “Gus Dur” Wahid acknowledged Confucianism as an official religion, one question was, “what God does a Confucian believe in?”

Similarly, Buddhists raised the concept of Sanghyang Adi Buddha to reconcile with the criteria that deems the acknowledgement of God as a necessity to be officially accepted as a religion.

In reality, not every faith acknowledges the presence of God. Some belief systems, like Buddhism, leave the governance of the universe to the law of nature, regulated through karma.

Some others, like Confucianism, direct mankind through its leader’s way of living. This, of course, does not necessarily make those religions “atheist” — only that the presence of a divine being is considered less important than the other aspects of its belief system.

Therefore, there is a need to reconceptualize the state’s definition of religion. One can look at the frameworks given by anthropologists and sociologists such as Emile Durkheim.

Durkheim’s classic framework of religion (1915) defines it as a “unified system of beliefs and practices relative to sacred things” that is united in “one single moral community”.

This framework is quite brief and succinct in defining religion. His definition requires only the belief in something sacred, the practice — or rituals — in observing it, and the actual people who believe and practice the faith.

Such a framework does not stress the prescriptive side of religion, which may require the presence of a supreme being or the existence of a scripture.

It gives spaces to faiths like Buddhism or those without a codified law like Sunda Wiwitan. As the title of Durkheim’s work suggests, it is defining religion in its most “elementary form”.

Of course, this is not meant to disregard the tenets of Islam or Christianity, which acknowledge the presence of God — nor to disprove the existence of God. And apart from Durkheim’s, varying useful frameworks are provided by many social scientists.

The search for an alternative framework for religion, defined by the state, is just one attempt to accommodate the diversity of faith and give every believer the rights they deserve. Observance to the Constitution remains crucial — but while we’re at it, why not go a step further?

Bila Politik Bertopeng, Sastra Menyingkapkannya

Bila Politik Bertopeng, Sastra Menyingkapkannya

Damhuri Muhammad ;   Penulis Cerpen
KOMPAS, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       
                                                      

AKIBAT sebuah kecerobohan, seorang ahli kimia molekuler mengalami kecelakaan di laboratoriumnya. Dalam sebuah eksperimen, wajahnya terbakar. Ia mengalami luka-luka keloid, hingga seluruh jaringan kulit mukanya rusak, bopeng, remuk tak berbentuk. Sejak itu, ia menjadi anonim, tak bisa dikenali lagi, terkucil, bahkan dikhianati oleh orang yang dicintainya, istrinya berselingkuh, tak bisa lagi bersetia pada suami tak bermuka.

Ahli kimia itu kehilangan identitas yang dulu melekat di raut mukanya. Tak soal bila yang cacat itu tangan atau kaki, tapi apa jadinya bila ia kehilangan muka? Lalu, ia merancang sebuah topeng guna menggantikan wajah lamanya. Ingin terlahir kembali dengan wajah utuh.

Hasilnya tak tanggung-tanggung, dengan perangkat teknologi dan bahan-bahan yang diolahnya sedemikian rupa, topeng ciptaannya bisa berkeringat, di permukaannya bisa tumbuh bulu dan jerawat. Namun, alih-alih topeng itu membebaskannya dari keterasingan, malah membuat ia kian terpuruk dalam situasi keterpelantingan eksistensial. Jangankan topeng itu, bahkan wajah aslinya yang sudah hancur itu tetap tidak bisa merepresentasikan kediriannya yang sejati. Ia terus didesak untuk memercayai bahwa wajah aslinya pun topeng, tak lebih berharga dari topeng yang telah berhasil mengelabui mantan istrinya. Baginya, tiada sesuatu yang bisa dipancarkan oleh muka, selain dusta dan kepalsuan. Demikian kisah tragis yang dinukilkan sastrawan Jepang, Kobo Abe (1924-1993), dalam novelnya The Face of Another (1967).

Personalitas

Personalitas manusia bertopeng semacam itu juga menjadi perhatian serius dalam teks monolog ”Wakil Rakyat yang Terhormat” karya Putu Fajar Arcana, yang dibukukan dalam Monolog Politik (2014). Berkisah tentang seorang wakil rakyat yang merasa hidupnya terpasung di balik topeng. Ia mengaku telah mengkhianati amanah rakyat, menangguk keuntungan atas nama rakyat, menimbun kekayaan dengan menghalalkan segala cara, dan menggunakan muslihat jahat demi mempertahankan kursi di parlemen. Itu semua karena ulah topeng yang telah meringkus wajah aslinya. Ia menyesal dan ingin mengelupaskan topengnya hingga kembali menjadi manusia biasa. Celakanya, topeng itu sudah bersenyawa dengan kulit wajahnya. Dengan segala cara ia membuka topeng itu. Sialnya, setelah topeng terkelupas, muka aslinya ternyata jauh lebih buruk.

Monolog itu telah dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta, 19 Juli 2014, diperankan oleh aktris kawakan Ine Febriyanti dan disutradarai langsung oleh Putu Fajar Arcana. Sengaja atau tidak, panggung itu relevan dengan momentum politik karena penyelenggaraannya hanya dua bulan selepas Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 dan beberapa hari setelah Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Masih segar dalam ingatan kita, betapa dusta diumbar di mana-mana, fitnah merajalela, baik politisi maupun simpatisan saling sikut, saling seruduk, guna mendulang suara. Kontestasi politik yang begitu runcing menjelang pilpres bagai panggung teater yang lebih dramatik dari teater paling dramatik sekalipun.

Karena berbeda pilihan capres, banyak pertemanan berubah menjadi permusuhan, yang hingga kini mungkin belum terdamaikan. Hubungan atasan-bawahan, mertua-menantu, bahkan suami-istri retak, hanya karena perbedaan pilihan politik. Maka, tantangan panggung monolog yang hendak memotret perilaku politik apalagi personalitas subyek politik menjadi tidak main-main. Ia harus lebih intens, eksperimental, dan lebih dramatik dari peristiwa politik, yang dalam prolog Putu Wijaya di buku itu, disebut ”teater spektakuler yang begitu mencekam”.

Pada 20 Juli 2014 dipentaskan pula lakon bertajuk ”Orgil” (orang gila), monolog keempat dari lima monolog yang terhimpun dalam buku tersebut. Diperankan oleh aktor Didon Kajeng, dan disutradarai Afif Mahfuz. Berkisah tentang pengakuan seorang tokoh kunci dalam skandal korupsi yang melibatkan banyak petinggi parpol. Demi keamanan negara dan nama baik seorang petinggi parpol yang sedang berkuasa, tokoh kunci itu diklaim gila, lalu dijerumuskan ke rumah sakit jiwa, hingga kesaksiannya tak bisa dibenarkan. Lagi-lagi, Arcana hendak menyingkap personalitas subyek politik, yang pertaruhannya tak tanggung-tanggung. Bila pencapaian estetiknya tidak sampai, monolog itu akan segera terimpit oleh lalu-lalang kabar tentang bupati yang tertangkap tangan oleh KPK, atau mantan menteri berstatus tersangka, tapi masih bisa tersenyum lebar di layar kaca, seperti kaum selebritas. Sandiwara yang begitu menakjubkan.

Meski begitu, teks monolog bukan saja untuk dipanggungkan. Ia juga kesaksian yang berasal dari situasi menyepi. Di saat politisi jauh dari keriuhan gelanggang politik, kejernihan biasanya menyembul ke permukaan, kewarasan mengentak-entak menolak siasat jahat yang sedang direncanakan. Dari situlah Arcana membangun Monolog Politik-nya. Kelak, teks-teks monolog itu bukan sekadar pengakuan personal manusia politik yang menjadi panggilan penciptaan seorang sastrawan, tapi juga pengakuan massal setiap orang dalam jaring laba-laba politik, atau yang disebut oleh Claude Lefort (1988) sebagai ”the political” (le politique).

Tokoh imajiner dalam ”Wakil Rakyat yang Terhormat” dan ”Orgil” bukan saja representasi dari politisi tertentu, tapi juga pengakuan massal bahkan banal dari semua subyek politik. Sebab, yang berperangai politik menyimpang bukan saja elite, rakyat jelata yang menerima amplop sebelum berangkat ke TPS, sama bobroknya dengan para penggila kursi di parlemen itu. Kita sadar bahwa kita sedang berdusta, namun kita hanya mengakuinya dalam kesendirian, saat berbicara dengan diri sendiri, saat bermonolog.

Begitulah semestinya posisi sastra dalam hiruk-pikuk politik yang tak terpermanai itu. Ia berkhidmat di ranah kesaksian, dan bertahan untuk tidak terseret arus deras politik. Sebelum Pilpres 2014, dunia sastra dikejutkan oleh munculnya sejumlah puisi atau yang setidaknya disebut ”puisi” oleh kaum politisi seperti Sajak Tentang Boneka, Sajak Seekor Ikan, Airmata Buaya, Raisopopo, karya penyair-politisi, Fadli Zon. Puisi-puisi instan yang dirancang atas dasar sinisme pada lawan politik tertentu. Namun, alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar sebagai slogan. Semacam bahasa politik yang menyaru ke dalam tubuh puisi.

Monolog Politik karya Putu Fajar Arcana seolah hendak merespons karya sastra yang diperlakukan sebagai perkakas politik itu. Sastra adalah mata, bukan senjata. Ia bermula dari kejernihan dan kewarasan, bukan dari kedengkian, apalagi kebencian. Bila politik gemar membuat topeng, sastra senantiasa akan menyingkapkannya….

Gaza dan Jerusalem Simbolis

Gaza dan Jerusalem Simbolis

Jean Couteau  Penulis Kolom “Udar Rasa”Kompas Minggu
KOMPAS, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       
                                                      

KADANG saya membayangkan suatu saat saya harus bisa menerbangkan sendiri pesawat. Itu bukan karena cita-cita yang tidak kesampaian, sebab semasa bocah pun sumpah saya tidak bercita-cita jadi pilot. Melainkan, betapa untuk urusan naik pesawat, terutama di pelabuhan-pelabuhan udara modern, sekarang semua cenderung harus dilakukan sendiri oleh calon penumpang.

Seperti terjadi di pelabuhan udara Muenchen baru-baru ini. Saya tiba di bandara di Jerman itu pukul empat pagi. Pesawat yang hendak membawa saya ke Kopenhagen dijadwalkan lepas landas pukul enam. Bandara sepi. Meja check in tidak ada petugas.

Saya tolah-toleh seperti kunyuk mencari bocah yang menyumpitnya. Di Indonesia, biasanya ada saja orang siap membantu. Satu-dua calon penumpang saya lihat memencet-mencet mesin untuk mendapatkan boarding pass.

Dengan kepercayaan diri di bawah 50 persen, saya coba ikut-ikutan. Saya pencet tombol. Keluar instruksi. Kadang mesin seperti ngadat, bahkan menyatakan saya salah. Diam-diam saya panik. Saya tidak terlatih merayu mesin.

Entah bagaimana, keluar juga boarding pass. Persoalan berikut, bagaimana dengan koper, yang harus masuk bagasi pesawat? Kembali saya harus berhadapan dengan mesin, yang terletak persis di pinggir conveyor alias ban berjalan. Dengan logika seadanya saya letakkan koper di atas conveyor.

Kembali saya memencet-mencet. Setelah kekeliruan beberapa kali, keluar lembaran kertas berperekat yang harus saya kalungkan di pegangan kopor. Tiba-tiba conveyor bergerak, membawa koper saya pergi. Kaget saya. Sempat terpikir, kalau saya lengah, jangan-jangan saya ikut terbawa, tercemplung di bagasi pesawat.

Sungguh pagi yang menegangkan. Dunia makin impersonal. Kita tidak lagi berhadapan dengan orang yang bisa kita tanya-tanya.

Sudah diakrabi cukup banyak orang, mentransfer uang sekarang tidak lagi perlu berhadapan dengan petugas bank. Cukup dilakukan sendiri lewat ATM, laptop, atau handphone. Yang masih ke bank berhadapan dengan petugas untuk mengambil uang tinggal orang-orang berumur.

Begitu pun pemesanan tiket pesawat, kereta api, hotel, dan lain-lain. Tak diperlukan lagi berhadapan dengan orang. Belum lagi urusan lebih sehari-hari seperti Coca-Cola, cokelat, kopi panas, kondom, dan lain-lain. Semua bisa didapat lewat mesin. Kita tinggal menyemplungkan koin.

Itulah bagian dari revolusi digital yang kita alami kini dan bakal menjadi masa depan kita. Manusia makin teralienasi dari manusia lain. Andaikata Nietzsche masih hidup, paling hanya dia yang bungah.

Sebaliknya, bagi sebagian besar manusia, justru ada kebutuhan makin besar atas komunitas, sosiabilitas, suasana kekeluargaan, di tengah arus globalisasi dan revolusi digital ini. Itu yang saya rasakan, sekaligus yang menjadi alasan saya ke Jerman. Saya mengikuti Guru Gunawan Rahardja, menghadiri retret para anggota perguruan dari seluruh negara di Eropa. Selama sepuluh hari kami bersama mereka, berlatih silat pagi sore, bercengkerama, ngobrol, setiap hari.

Dari Jerman, usai kegiatan yang oleh sebagian orang dianggap katrow, kuno ini, melalui Kopenhagen saya menuju Swedia untuk tugas kantor. Saya akan mengunjungi perusahaan furniture modern, yang mereknya niscaya tak asing bagi kalangan atas Jakarta.

Tadinya, saya bersiap-siap untuk melakukan wawancara dan eksplorasi soal bentuk, rupa, fungsi, dan berbagai hal yang berhubungan dengan dunia desain mutakhir. Ancang-ancang tersebut seketika saya ubah. Begitu bertemu, pihak perusahaan ini lebih banyak bicara bagaimana menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik, bagi sebanyak-banyaknya orang. Tak ketinggalan, tanggung jawab untuk kelangsungan hidup di masa depan, atau istilahnya: sustainability. Itulah katanya inti kreasi mereka.
Back to top